Sunday, December 18, 2011

Bai' Salam dan Bank Syariah Part 2 (Analisis Masalah)


Jika pada tulisan sebelumnya diutarakan beberapa fakta yang ada didunia perbankan hingga akad salam tidak diterapkan di bank syariah dengan ditunjukkan dari laporan keuangan bank syariah, maka pada tulisan kali ini akan diungkapkan adanya beberapa faktor yang menjadi alasan kenapa pembiayaan dengan akad bay’ al salam tidak diterapkan di bank syariah sejak tahun 2003 hingga sekarang. Faktor-faktor tersebut dapat dilihat dari beberapa sisi atau aspek, antara lain:
1.                  Akad salam tidak diprioritaskan
Di bank syariah ada beberapa akad yang menjadi dominan dalam penyaluran pembiayaannya yang diantaranya adalah akad murabahah, musyarakah, dan mudharabah. Karena culture bisnis di Indonesia lebih cenderung ke trading dan home industri, sehingga yang menjadi sangat populer sekali adalah akad murabah. Dalam penyaluran pembiayaannya ke sektor pertanian, bank dirasa tidak perlu lagi menggunakan akad salam karena sudah dapat diakomodir melalui akad perbankan lainnya. Karena tidak perlu lagi akan keberadaan akad salam, maka bank tidak menetapkan target pembiayaan untuk akad salam.
2.                  Kurangnya dana jangka panjang
Masalah yang kedua adalah membiayai sektor pertanian (sektor usaha yang cocok dalam pembiayaan dengan akad salam) membutuhkan jangka waktu yang tidak sebentar, dalam arti berdasarkan karakteristik dari sektor pertanian, sektor tersebut akan menghasilkan (panen) dalam jangka waktu yang cukup panjang (3 bulan, 6 bulan, bahkan bisa lebih dari 2 tahun).
Berdasarkan data statistik perbankan syariah di tunjukkan bahwa komposisi dana pihak ketiga yang dimiliki oleh Bank Umum Syariah maupun Unit Usaha Syariah yang menjadi mayoritas adalah deposito dengan akad mudharabah. Akan tetapi komposisi terbanyak adalah deposito dengan jangka waktu 1 bulan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar grafik di bawah ini:
Gambar 4.1. Komposisi DPK pada BUS dan UUS
Sumber diperoleh dan diolah dari: Data Statistik Perbankan Syariah 2007-2009

Gambar 4.1. di atas menunjukkan bahwa bank tidak memiliki cukup banyak simpanan uang untuk pembiayaan dalam jangka panjang. Fakta ini jelas sangat memiliki risiko yang tinggi bagi pihak perbankan, mengingat bank merupakan lembaga bisnis yang juga dituntut untuk menyerahkan return bagi hasil secara berkala sesuai dengan jangka waktu deposito yang ada.
3.                  Terbatasnya jaringan perbankan syariah.
Mayoritas sektor pertanian berada di desa, sedangkan perbankan berada di kota. Susahnya akses ke kota guna menjangkau perbankan syariah yang ada di kota juga menimbulkan cost yang harus dikeluarkan oleh petani. Belum lagi akan ada banyak hal yang harus diurus oleh petani seperti misalnya urusan administrasi dan sebagainya, sehingga double cost bisa saja terjadi. Hal inilah yang menyebabkan petani lebih senang memilih alternatif pembiayaan yang lebih mudah dan murah untuk dijangkau seperti rentenir.
Masalah ini juga diperkuat dengan adanya hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Bank Indonesia untuk melihat preferensi masyarakat terhadap bank syariah dimana hasil penelitian dan permodelan potensi serta preferensi masyarakat terhadap bank syariah menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap perbankan syariah[1]. Namun, sebagian besar responden mengeluhkan kualitas pelayanan, termasuk keterjangkauan jaringan yang rendah. Kelemahan inilah yang salah satu caranya di atasi dengan office channeling, yaitu bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah dapat membuka konter layanan syariah di cabang konvensionalnya.
4.                  Orientasi bisnis.
Bank merupakan lembaga keuangan yang beriorientasi pada bisnis. Dalam berbisnis, hal yang menjadi prioritas utama adalah mencari keuntungan. Sehingga bank sangat selektif dalam membiayai sektor usaha, dan tentunya sektor usaha yang dibiayai adalah sektor usaha yang lebih menguntungkan serta memberikan hasil cepat dan pasti.
5.      Kurangnya pemahaman.
Kurangnya pemahaman, kemampuan serta keahlian para officer perbankan tentang penyaluran pembiayaan dengan akad salam disebabkan karena kurangnya sumber daya manusia lulusan syariah yang paham betul tentang ekonomi syariah termasuk mengenai perbankan syariah dengan segala produk-produknya. Bank syariah seolah-olah disibukkan oleh jargon “How to Islamize our Banking Sistem” dan lupa akan wacana “How to Islamize the People Involved in the Banking Industri”.[2]   
6.      Menghindari risiko.
Masalah selanjutnya adalah officer perbankan bekerja untuk menciptakan keuntungan bagi perusahaan yang menaunginya. Sehingga mereka akan bekerja sangat hati-hati terutama dalam hal memilih sektor usaha yang akan dibiayai. Mengingat akad salam cocok untuk membiayai sektor pertanian, serta karakteristik sektor pertanian sangat berisiko tinggi, sehingga bank menghindari membiayai sektor ini.
7.                  Tidak mau repot.
Dengan adanya alternatif produk yang dapat disalurkan dengan lebih mudah, cepat dan murah, maka bank menghindari penggunaan produk yang menyulitkan. Pembiayaan dengan akad salam mengharuskan adanya pembayaran uang dimuka secara tunai kepada nasabah, dan secara tidak langsung menjadi kewajiban pihak bank untuk mengontrol kegiatan usaha nasabah. Selain membutuhkan waktu dan tenaga, aktifitas ini juga membutuhkan biaya tambahan, seperti untuk transport, pelatihan, dan sebagainya.
8.                  Orientasi pada target.
Officer perbankan bekerja lebih menekankan pada target bisnis dan keuntungan. Sehingga officer perbankan akan melakukan apa saja untuk mencapai target yang telah ditetapkan, baik target dari kantor pusat maupun dari direksi kantor cabang. Dalam arti mereka lebih prefer untuk membiayai sektor usaha yang lebih menguntungkan dan menghasilkan cepat.
9.      Rumit diaplikasikan.
Menurut beberapa praktisi perbankan syariah, salah satu kendala tidak diterapkannya akad salam diperbankan syariah adalah karena akad salam termasuk rumit diaplikasikan. Rumit disini bagi pihak bank khususnya, bank harus menyerahkan dana diawal ke nasabah, artinya bank menanggung risiko sepenuhnya apabila dana tersebut tidak kembali. Guna meminimalisir risiko tersebut bank harus melakukan pemantauan secara berkala ke petani, pemantauan disini baik dari aspek keuangan maupun produktifitas serta kinerja petani. Karena jika tidak demikian, akan sangat beresiko terjadi moral hazard maupun side streaming dari dana yang telah disalurkan ataupun jenis penyimpangan-penyimpangan lainnya. Disamping itu, dalam menentukan hasil panen, kualitas yang tidak sesuai dengan standar juga menjadi masalah dalam aplikasi akad salam. Sehingga produk yang dibiayai haruslah sudah terstandarisasi dengan jelas agar dapat diukur.
10.              Biaya yang tinggi.
Dalam aplikasinya, pembiayaan dengan akad salam juga membutuhkan biaya operasional yang tinggi, seperti biaya survey diawal sebelum melakukan akad, biaya pengontrolan dan pengawasan pada saat proses, biaya premi untuk menanggung jika usaha tani gagal panen, biaya transportasi dan sebagainya.
11.              Risiko yang tinggi.
Lamanya waktu menghasilkan, kualitas dan kuantitas yang dihasilkan dari sektor pertanian sangat tergantung pada musim dan cuaca, serta harga komoditas pertanian yang fluktuatif dianggap sektor ini penuh risiko bagi pihak perbankan.
12.              Kurangnya teknologi/fasilitas pendukung.
Masalah teknis lainnya yang menjadi hambatan akad salam secara khusus belum terkomputerisasinya sebagian besar bisnis pertanian di Indonesia. Padahal, Perubahan teknologi adalah sumber pertumbuhan produktivitas utama.
13.              Kurangnya informasi.
Mayoritas nasabah umumnya petani yang ada di pedesaan yang tidak terjamah oleh bank syariah dikarenakan mereka belum tahu tentang bank syariah khususnya produk-produk bank syariah, terutama akad salam. Hal ini karena kurangnya informasi yang didapat oleh petani, kurangnya sosialisasi perbankan ke petani-petani juga menjadi salah satu faktor petani tidak tahu tentang akad salam. Kurangnya informasi ini juga menyebabkan tidak adanya permintaan akad salam di perbankan syariah.
14.              Petani kecil tidak bankable.
Petani kecil dalam kaca mata bank sangat tidak bankable, hal ini dikarenakan petani kecil tidak memiliki pengetahuan yang baik dalam hal pembukuan serta pelaporan aktifitas pertanian. Disamping itu, aspek legal juga menjadi alasan bahwa petani kecil tidak bankable yang meliputi ketidakmampuan petani dalam menunjukkan izin usaha serta memberikan agunan tambahan.
15.              Kurangnya kebijakan pendukung.
Regulasi maupun kebijakan pemerintah mempunyai kontribusi paling besar dalam perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Demikian halnya dalam operasional penyaluran pembiayaan salam perlu kebijakan khusus guna mendukung penerapan akad salam.
16.              Kurangnya keberpihakan pemerintah.
Kebijakan-kebijakan regulasi di atas perlu dituntun ke arah yang sinergis sehingga menimbulkan pemahaman yang syumuliyah dan berkelanjutan dalam menciptakan pembiayaan dengan akad salam agar dapat kompetitif dengan produk perbankan syariah lainnya.
            Konsep trias politika yang berdasarkan nilai ta’awun, dapat diterapkan dalam hal ini, dimana praktisi berperan sebagai eksekutifnya, lalu pemerintah bersama MUI mempunyai peran fungsi legislatif dan akademisi bersama MUI mempunyai fungsi yudikatif yang senantiasa menilai perkembangannya[3].
17.              Pajak.
Meskipun UU Perbankan syariah telah disahkan, tetapi pengenaan pajak berganda (double taxation) pada transaksi berbasis syariah masih menjadi kendala. Dalam pandangan Direktorat Jenderal Pajak, akad murabahah dianggap sebagai transaksi ganda[4]. Akad salam merupakan salah satu jenis pembiayaan dengan sistem jual beli. Dalam jual beli tentu dikenakan pajak. Pajak dapat menjadi biaya tambahan yang harus dikeluarkan oleh bank.
18.              Banyak alternatif pembiayaan yang dapat dilakukan oleh petani dalam mendapatkan modal. Seperti melalui rentenir, BRI unit (yang sudah merambah ke desa-desa), lembaga keuangan mikro syariah seperti BPRS/BMT, serta pembiayaan melalui program pemerintah.





[1] http://www.ads.kompas.com Ditulis oleh Agif, 2009. SWOT Analysis Perbankan Syariah di Indonesia. Diakses tanggal 11 September 2009.
[2] http://www.ads.kompas.com Ditulis oleh Agif, 2009. SWOT Analysis Perbankan Syariah di Indonesia. Diakses tanggal 11 September 2009.
[3] Hamzah, Maulana, 2008, ”Pengembangan Perbankan Syariah Secara Obyektif dan Rasional dengan Pendekatan Mekanisme Pasar”. Jurnal Ekonomi Islam La Riba Vol.II
[4] http://www.ads.kompas.com Ditulis oleh Agif, 2009. SWOT Analysis Perbankan Syariah di Indonesia. Diakses tanggal 11 September 2009

No comments:

Post a Comment