Sunday, February 26, 2012

RAHASIA BAHAGIA



Weekend lalu, keluarga kecil kami didatangi oleh sepupu dari suamiku dari Tanggerang. Kebetulan istrinya sedang pulang ke rumah orangtuanya yang ada di Garut. Setelah melepas kepergian istri bersama bidadari cantiknya di Gambir, sepupu suamiku berniat untuk mengunjungi gubuk kecil kami di daerah Bogor. Sebagaimana keadaan sebelum-sebelumnya, dengan kondisi apa adanya, kami selalu berusaha memberikan dan mempersiapkan yang terbaik untuk menyambut setiap tamu yang akan berkunjung ke rumah kami.  
Sesampainya ia dirumah kami, seperti biasa, apapun yang ada dirumah kami suguhkan meskipun tidak semewah dihotel berbintang. Dengan mengemban prinsip “Ikromu duyuf (memuliakan tamu)” selama kami mampu, apapun kami berikan. Sikap ku dan suamiku tidak ada yang berbeda, seperti biasa dan dihadapan siapa saja, tertawa, canda, yah,,, tidak ada yang ditutup-tutupi. Karena itulah kami, kami ingin menjadi diri kami sendiri “it’s me”, tidak ada istilah jaga image ataupun semacamnya, kami pun tidak berusaha dan tidak berkeinginan untuk menjadi orang lain, karena inilah KAMI (pasangan yang hampir satu tahun menikah dengan hidup apa adanya).
Hingga keesokan harinya sepupu suamiku pun berpamitan pulang. Esoknya disaat suami ku masuk kerja, diselingi aktifitas rutinnya di kantor, suamiku pun chat melalui salah satu jejaring sosial yang ia miliki, dan saat itu suami ku ngobrol dengan sepupunya yang mengunjungi rumah kami. Dipertengahan percakapan antar kedua lelaki ciptaan tuhan itulah sepupunya menyampaikan kesan-kesannya tentang keluarga kecil kami.
“Aku lihat, koq keluarga kalian selalu bahagia sih, sepertinya hidup kalian tidak ada beban gitu, rahasianya apa?”
“Tidak ada rahasianya mas, yah, gitu2 aj, yang penting kita selalu bersyukur, caranya ya nggak ninggalin shalat, berdo’a-berserah diri sama Yang Punya Kehidupan, Sedekah, Shalat Dluha, dan kita juga harus yakin seyakin-yakinnya karna Allah yang ngasih rizki (makhluk yang paling kecil aja udah dijamin rizkinya ma Allah, apalagi makhluk segede gaban kayak kita) harus yakin tanpa ada sedikit keraguan sedikitpun.” Sejenak suamiku menghela nafas sambil melanjutkan ketikannya di layar komputer.
“Tidak cinta dunia dan cinta harta, karena semua itu hanya sementara. Sadari bahwa Allah hanya mengamanahkan itu kepada kita untuk digunakan, dirawat dan dijaga, tidak untuk dimiliki. Dengan itu, kita tidak akan merasa kehilangan ketika apa yang kita miliki itu sudah tidak ada. Lalu silaturrahmi, dan yang terakhir adalah ikhtiar.”

Dan memang begitulah, ia, imamku, selalu mengingatkan ku tentang ‘RAHASIA BAHAGIA’ itu. Setiap hari tidak pernah ia bosan mengingatkan nasihat itu, dan aku, harus untuk tidak bosan mendengar ‘OCEHAN’ magic itu.
Ia selalu mengingatkan ku untuk shalat Isya’ dulu sebelum aku ketiduran karena lelahnya seharian bekerja, Ia yang selalu mengajakku untuk selalu berdo’a selepas shalat, Ia yang mengajarkanku untuk membeli barang dagangan penjual yang terlihat sudah tua renta-meskipun sebetulnya kita tidak membutuhkan barang tersebut, Ia juga yang tidak pernah khawatir dengan selalu meyakinkanku yang sangat khawatir tentang manajemen keuangan bulanan “tenang dinda, insya Allah nanti juga ada rizkinya, yakin deh”, Ia juga yang mengingatkan kan ku untuk tidak menganggap harta yang kita miliki itu milik kita-tapi milik Allah-kita hanya dititipkan untuk menjaganya, Ia yang selalu mengajakku silaturrahmi di akhir pekan kami-baik kerumah saudara maupun mengunjungi teman-teman kami, dan Ia yang selalu menuntunku untuk selalu ikhtiar dan tetap berusaha melalui setiap jalan yang telah ditunjukkan oleh Allah SWT (dengan memanfaatkan setiap chance/kesempatan sebaik-baiknya). Oleh karena itu aku selalu bangga menyebut ia, SUAMIKU.  I’m so Proud of You.

Terima kasih Tuhan.

Jangan nunggu BAHAGIA dulu baru bersyukur, tapi bersyukurlah dulu maka kita akan merasa tambah bahagia.

Metodologi Penelitian ANP (Analytic Network Process)



Mengapa ANP?

Dalam setiap penelitian baik itu bersifat kualitatif maupun kuantitatif, akan membutuhkan suatu model penelitian. Model penelitian dibuat dapat berdasarkan literatur review (penelitian terdahulu) dengan mengubah beberapa variabel penelitian terkait dengan tujuan dari penelitian yang akan diteliti maupun menciptakan suatu model baru yang belum pernah ter-publish sebelumnya. Meskipun pada dasarnya pembuatan model kedua ini jarang sekali ada dalam penelitian, kebanyakan penelitian menggunakan model yang sudah pernah diteliti sebelumnya dengan menambahkan/mengurangi beberapa variabel saja.

Apa itu Model?
Model ekonomi adalah konstruksi teoritis atau kerangka analisis yang terdiri dari himpunan konsep, definisi, anggapan, persamaan kesamaan (identitas) dan ketidaksamaan dari mana kesimpulan akan diturunkan, Insukindro (1992). Model adalah representasi dari kondisi yang nyata, tapi selalu disederhanakan. Karena model merupakan bentuk representasi saja, maka model akan selalu salah karena tidak persis dengan aslinya. Meskipun demikian, yang kita ambil dari suatu model adalah manfaatnya.
Dalam suatu model selalu ada asumsi yang dibuat. Misalnya,

Contoh Model: Money-Output Causation
Yt = β0 + β1 Mt + εt

Model diatas merupakan contoh model regresi linier sederhana tentang money-output causation. Persamaan diatas merupakan persamaan skotastik, dimana menunjukkan bagaimana pengaruh Mt terhadap Yt, yang ditunjukkan oleh β1 – secara umum β1>0. Artinya, kenaikan Mt akan meningkatkan Yt dan sebaliknya. Para peneliti pada umumnya hanya concern pada Variabel Mt, sedangkan sisanya adalah eror yang ditunjukkan oleh symbol ε. Jika dinalar dalam ilmu ekonominya, output tidak hanya dipengaruhi oleh money saja, akan tetapi masih banyak variabel-variabel lainnya yang mempengaruhi output (Y), variabel-variabel lain tersebut digambarkan oleh εt. Sehingga suatu model akan mendekati aslinya adalah model yang memiliki paling sedikit asumsi.
Oleh sebab itulah, ANP memiliki asumsi yang paling sedikit karena model dalam ANP sesuai dengan kenyataan yang ada yang diambil dari pendapat dan ide dari para pakar dan praktisi terkait.

Dalam setiap persamaan selalu ditentukan mana variabel dependen dan mana variabel independen. Artinya, ada variabel dimana variabel tersebut dipengaruhi dan atau mempengaruhi variabel lainnya. Sebagai contoh sederhana Bank Indonesia (BI) selaku pengambil keputusan merupakan variabel eksogen/independen yang tidak dipengaruhi tapi mempengaruhi. Akan tetapi, sebetulnya kebijakan yang dihasilkan oleh Bank Indonesia sebagai pengambi keputusan tentunya terpengaruh, yakni terpengaruh oleh suku bunga (BI rate) misalnya. Overall, setiap variabel tentunya dapat dipengaruhi dan juga mempengaruhi.

Jadi variabel Y saat ini tidak mungkin sudah dependen, sehingga untuk membatasinya harus ada asumsi. Hampir tidak ada variabel yang eksogen/independen. Yang independen hanya Allah SWT.

Oleh karena itu, metodologi penelitian OLS atau jenis regresi sederhana lainnya sudah tidak cocok lagi karena sudah banyak asumsi-asumsi yang dipecah/dipisahkan dari kondisi yang nyata. Sehingga, penelitian yang bersifat kuantitatif lebih tepat menggunakan metodologi VAR/VECM dengan beragam turunannya sedangkan penelitian yang bersifat kualitatif adalah ANP (Analytic Network Process). Dalam dunia penelitian dewasa ini metodologi penelitian yang powerfull adalah VAR/VECM untuk kuantitatif dan ANP untuk kualitatif.

Tuesday, February 14, 2012

Definisi Riba


Secara bahasa makna riba (yurbi) dari raba asy-sya’I, yarbuu, asbaahu, yarbiihi yang bermakna mengembangbiakkan dan menjadikan banyak.[1]
Dalam ayat suci Al-Qur’an telah dijelaskan makna riba sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya: “Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila Kami turunkan air diatasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi tinggi (suburlah) dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah” (QS. Al-Hajj: 5)

Tafsir Ibnu Katsir mengungkapkan bahwa, “Bila Allah telah menurunkan hujan ke bumi, maka bumi bergerak dengan menumbuhkan tetumbuhan dan tanah yang sebelumnya mati (gersang) menjadi hidup, lalu batangnya menjulang tinggi dari permukaan tanah. Dan dengan hujan Allah menumbuhkan berbagai rupa dan macam buah-buahan, tanaman, tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam warnam rasa, aroma, bentuk dan kegunaannya.” [2]
Menurut istilah, riba bermakna,

“Penambahan pada komoditi/barang dagangan tertentu”

Adanya suatu tambahan atas barang tertentu pada suatu transaksi. Tambahan ini dikenakan karena adanya waktu yang terbuang atau dikenal dengan istilah (opportunity cost).
Menurut Prof Ahmad, Riba merupakan term (makna) Qur’an untuk bunga atau tambahan atas sesuatu dari transaksi barang yang bersifat ribawi (usury), dan definisi riba sebagaimana telah disebutkan dalam Al-Qur’an sudah sangat jelas sekali tanpa memiliki makna yang ambigu. Makna tersebut dikategorikan sebagai pelarangan atas segala bentuk riba pada setiap transaksi melalui adanya kelebihan pengembalian dari setiap barang-barang ribawi. Beliau juga menjelaskan bahwasannya Qur’an tidak pernah mencantumkan kata yang makna nya masih diperdebatkan baik dalam konsep maupun definisi dari riba itu sendiri. Hal ini secara jelas dan gamblang disebutkan bahwa, Allah SWT berfirman:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu termasuk orang-orang yang beriman”. (QS Al-Baqarah: 278)
            Ayat berikutnya melengkapi konsep makna dari riba dengan sangat jelas yang menyatakan bahwa jika kamu menagih tagihan pinjaman dari orang lain maka tagihlah dengan hanya sebatas pada jumlah pinjaman pokoknya saja dan tidak lebih dari itu. Allah SWT berfirman:


Artinya: “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 279)
            Al-Qur’an tidak membedakan antara pinjaman yang diberikan untuk keperluan konsumtif maupun untuk keperluan produktif. Faktanya, dalam Qur’an lebih menganjurkan (menghalalkan jual beli) daripada harus bertransaksi dengan riba yang telah jelas diharamkan dalam Al-Qur’an.[3]
            Dalam sebuah artikel[4] disebutkan bahwa riba merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab yang ditujukan untuk pengembalian atas penggunaan sejumlah uang yang telah ditentukan sebelumnya. Dahulunya masih terdapat perbedaan pendapat apakah riba yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an ditujukan kepada bunga atau riba dalam arti sesungguhnya, akan tetapi sekarang sudah ada consensus (persetujuan) diantara para ilmuwan Muslim bahwa makna riba sudah mencakup segala bentuk bunga tidak hanya adanya tambahan atas suatu pinjaman.
Dari dua ayat diatas (278-279) dan jika dilanjutkan hingga ayat 281 maka ayat tersebut memiliki asbabun Nuzul sebagaimana diceritakan, “Zaid bin Aslam dan yang lainnya menuturkan bahwa redaksi ayat tersebut diturunkan berkaitan dengan Bani Amr bin Umair dari Tsaqif dan berkaitan dengan Bani Mughirah dari Bani Makhzum. Telah terjadi riba antara mereka pada masa jahiliyah. Setelah Islam datang dan mereka memeluknya, Tsaqif meminta hartanya dari Bani Mughirah. Kemudian mereka bermusyawarah, Bani Mughirah berkata, “Kami tidak akan melakukan riba dalam Islam dan akan menggantinya dengan usaha yang Islami”.
Kemudian Utab Ibn Asid, pemimpin Mekkah, melaporkan hal tersebut kepada Nabi SAW dalam sepucuk surat, maka diturunkanlah ayat diatas (278-281), lalu Rasulullah SAW membalas Utab dengan surat yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan tinggalkanlah sisa riba, apabila kamu adalah orang-orang yang benar. Maka mereka berkata, “Kami bertobat kepada Allah dan kami akan meninggalkan sisa riba. Maka mereka meninggalkan riba.[5]
Berikut Thabrani meriwayatkan dari Abu Amamah As’ad bin Zarawah, dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda[6]:
Barang siapa yang ingin mendapatkan naungan dari Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naunganNya, maka hendaklah dia member kemudahan kepada yang kesulitan, atau membebaskannya dari kesulitannya.” (HR Thabrani)


[1] Tafsir Ibnu Katsir.
[2] Tafsir Ibnu Katsir, 3/208 dalam Arifin, 2009, hal 2.
[3] Ahmad, Khurshid,1993, hal 33.
[4] Islamic Interest-Free Banking by a Leading Economist Working as Assistant Director, Research Department, IMF.
(IMF Staff Papers, Vol 33 No 1, March 1986, pp 4-5).
[5] Tafsir Ibnu Kastir, Jilid 1.
[6] Tafsir Ibnu Kastir, Jilid 1 hal 459

Monday, February 13, 2012

Sekilas tentang OJK (Otoritas Jasa Keuangan)

www.infobanknews.com

Hot news dalam industri keuangan terkini salah satunya adalah dengan adanya pembentukan sebuah lembaga Otoritas Jasa Keuangan. Lembaga ini bertugas untuk melaksanakan pengawasan yang dapat mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan tugas pengawasan terhadap perbankan, pasar modal, dan industri jasa keuangan non bank secara terpadu, independen, dan akuntabel. Melalui pertimbangan ini dimaksud untuk dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan diperlukan industri jasa keuangan yang sehat, teratur, dan mempunyai daya saing yang tinggi.
Menurut Akhis Hutabarat, salah satu motivasi pemerintah di sejumlah negara memindahkan otoritas perbankan dari bank sentral kepada suatu otoritas jasa keuangan adalah dimana otoritas moneter dan otoritas perbankan, dalam hal ini otoritas pengaturan dan supervise mikro prudensial bank, diyakini berpotensi memiliki konflik kepentingan karena masing-masing memiliki tujuan dan kepentingan yang berbeda dalam melaksanakan fungsinya.
Indonesia merupakan salah satu negara yang juga beranggapan serupa, dimana dalam fungsinya saat ini Bank Indonesia tidak hanya mengatur otoritas moneter dan fiskal saja akan tetapi juga meliputi otoritas perbankan. Paling tidak ada tiga bentuk potensi konflik kepentingan dalam Bank Indonesia yang perlu mendapat perhatian. Diantaranya adalah:
1)      Preferensi suku bunga ketika otoritas moneter melakukan disinflasi
2)      Respon Kebijakan saat dan pasca krisis
3)      Preferensi pada kondisi umum, normal, atau saat kebijakan penurunan bunga

Lain halnya menurut Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar sejauh ini pembentukan OJK diarahkan kepada upaya memperkuat daya tahan terhadap krisis keuangan. Namun, saat perekonomian Indonesia dalam posisi aman seperti saat ini, pembentukan OJK seharusnya didorong untuk menggerakkan pertumbuhan sekaligus meningkatkan reposisi ekonomi Indonesia di dunia internasional.
Menurut Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia  Bab II pasal 2, Otoritas Jasa Keuangan atau disingkat OJK itu sendiri merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini.
Ruang lingkup OJK dalam melakukan tugasnya dalam mengatur dan mengawasi terhadap setiap:
1)      Pelaksanaan kegiatan jasa keuangan di bidang Perbankan, meliputi baik perbankan konvensional maupun perbankan syariah;
2)      Pelaksanaan kegiatan jasa keuangan di bidang Pasar Modal dan;
3)      Pelaksanaan kegiatan jasa keuangan di bidang IKNB (Industri Keuangan Non Bank), seperti misalnya dana pensiun, lembaga pembiayaan, lembaga pembiayaan ekspor, lembaga pembiayaan sekunder perumahan, lembaga penjaminan, pergadaian, usaha perasuransian, lembaga yang menyelenggarakan program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan yang bersifat wajib, atau industri keuangan non bank lainnya.

Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan peraturan pelaksanaan kegiatan kasa keuangan di bidang perbankan dalam hal ini OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia selaku bank sentral dalam bidang keuangan, Kementerian Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan.
Dalam melaksanakan tugasnya OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner. DK OJK memiliki 7 (tujuh) orang anggota yang ditetapkan melalui Keppres (Keputusan Presiden). Susunan DK OJK ini terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, 3 orang kepala eksekutif merangkap anggota, dan 3 orang anggota. Dari 7 orang tersebut yang akan terpilih menjadi anggota DK OJK adalah berasal dari (a) 2 orang diambil dari masyarakat yang satu diantaranya sebagai ketua; (b) 1 orang dari Bank Indonesia yang merupakan ex-officio Deputi Gubernur Bank Indonesia; (c) I orang dari Kementerian Keuangan yang merupakan ex-officio pejabat setingkat eselon 1 Kementerian Keuangan; dan (d) 3 orang dari Otoritas Jasa Keuangan yang merangkap sebagai Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, dan Kepala Eksekutif Pengawas IKNB.


Hutabarat, Akhis R, Memahami Grey Area Otoritas Perbankan dan Otoritas Moneter, Leicester, 2010
Indopos, hal.5, OJK Mesti Independen, 2012

Sunday, February 12, 2012

الإجارة منتهية بالتمليك



الإجارة منتهية بالتمليك




تقديم:
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله ومن والاه. أما بعد، فمواصلة لجهود اللجنة الاستشارية العليا للصكوك الحكومية في دعم وتوسيع دائرة المعرفة في مجال الصكوك الحكومية وآلية هيكلتها والصيغ التمويلية المستخدمة فيها والمتوافقة مع فقه المعاملات، فيسر اللجنة تقديم بحث:
        1. مبررات القول بجواز إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك.
2. مكافأة "أجر" مديري التأمين التعاوني.
   مع تعقيب وتعليق لسماحة الشيخ /الصديق محمد الأمين الضرير على الموضوعين. وهذا ما زاد هذين الموضوعين بريقاً وأضاف عليهما قيمة علمية كبيرة، لما لسماحة الشيخ من فضل وعلم ودقة، وهو يعد بحق حادي تجربة العمل المصرفي والمالي الإسلامي. والاختلاف في وجهات النظر بحسب الموضوع والشعور بإلحاحه وأهميته في ضوء التجربة العملية مدعاة إلى التطوير والتجويد، وهو بالختام لا يفسد للود قضية.
وتكمن أهمية التأمين التعاوني وتطوره في تلبية حاجات الجهات المختلفة في توفير الأمان على المستوى الفردي والجماعي وما يترتب عليه من استقرار اقتصادي وتنشيط للاستثمار والعمل التجاري والمالي، وبما يساعد على دخول المستثمرين والمدراء إلى مجالات جديدة،  تكون محفوفة بالمخاطر من غير وجود نظام للتأمين فعال ومتطور. والحاجة إلى التأمين ماسة في الصكوك الحكومية والتي تقوم على مؤسسات وشركات وصيغ يمتلك المضارب فيها سلعاً وأصولاً يتعين عليه إجراء التأمين التعاوني عليها.

هذا وبالله التوفيق

بسم الله الرحمن الرحيم
وزارة المالية والاقتصاد الوطني
اللجنة الاستشارية العليا للصكوك الحكومية





o    مبررات القول بجواز إجارة العين لمن باعها
إجارة منتهية بالتمليك
o    مكافأة (أجر) مديري التأمين التعاوني



الإصدارة الثالثة


الطبعة الأولي


د. التجاني عبد القادر أحمد

تعقيب وتعليق سماحة الشيخ البروفسيور
الصديق محمد الأمين الضرير

Rounded Rectangle: فهرسة المكتبة الوطنية – السودان
35, 216 التجاني عبدالقادر أحمد
ت.م 


o مبررات القول بجواز إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك.
o مكافأة (أجر) مديري التأمين التعاوني التجاني عبد القادر أحمد – ط1. 
- الخرطوم: دار السداد، 2006م
      52 ص: 24 سم.
       ردمك:6-8-827-99924
      1- الإجارة.  
 2-البيع، أحكام                                             
      3- المعاملات (فقه إسلامي).
      4- الأجور - أحكام

       (أ) العنوان                     (ب)العنوان الثاني
1/ مبررات القول بجواز إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك.
2/مكافأة (أجر) مديري التأمين التعاوني.

تقديم:
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله ومن والاه. أما بعد، فمواصلة لجهود اللجنة الاستشارية العليا للصكوك الحكومية في دعم وتوسيع دائرة المعرفة في مجال الصكوك الحكومية وآلية هيكلتها والصيغ التمويلية المستخدمة فيها والمتوافقة مع فقه المعاملات، فيسر اللجنة تقديم بحث:
        1. مبررات القول بجواز إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك.
2. مكافأة "أجر" مديري التأمين التعاوني.
   مع تعقيب وتعليق لسماحة الشيخ /الصديق محمد الأمين الضرير على الموضوعين. وهذا ما زاد هذين الموضوعين بريقاً وأضاف عليهما قيمة علمية كبيرة، لما لسماحة الشيخ من فضل وعلم ودقة، وهو يعد بحق حادي تجربة العمل المصرفي والمالي الإسلامي. والاختلاف في وجهات النظر بحسب الموضوع والشعور بإلحاحه وأهميته في ضوء التجربة العملية مدعاة إلى التطوير والتجويد، وهو بالختام لا يفسد للود قضية.
وتكمن أهمية التأمين التعاوني وتطوره في تلبية حاجات الجهات المختلفة في توفير الأمان على المستوى الفردي والجماعي وما يترتب عليه من استقرار اقتصادي وتنشيط للاستثمار والعمل التجاري والمالي، وبما يساعد على دخول المستثمرين والمدراء إلى مجالات جديدة،  تكون محفوفة بالمخاطر من غير وجود نظام للتأمين فعال ومتطور. والحاجة إلى التأمين ماسة في الصكوك الحكومية والتي تقوم على مؤسسات وشركات وصيغ يمتلك المضارب فيها سلعاً وأصولاً يتعين عليه إجراء التأمين التعاوني عليها.

هذا وبالله التوفيق
بسم الله الرحمن الرحيم
اللجنة الاستشارية العليا للصكوك الحكومية


تكوين اللجنة:
تكونت اللجنة وفقاً للقرار الوزاري رقم (67) الصادر بتاريخ 9 شعبان 1423هـ الموافق 14/أكتوبر/2002م.
أهداف واختصاصات اللجنة:
1.    وضع السياسات العامة لإصدارات الصكوك الحكومية.
2.    تجميع المدخرات القومية بآلية غير تضخمية تقوم على أسس تتطابق وقواعد الشريعة الإسلامية.
3.    وضع الأسس التي تضمن التنسيق الكامل بين الجهات المعنية بعمليات الإصدار.
4.    المساهمة في تمويل الدولة.
5.    تمويل مشروعات التنمية الاستراتجية.
6.    تنمية وتطوير البنية المالية والمصرفية بالتنسيق مع الجهات المختصة.
7.    وضع السياسات والآليات التي تحكم الإطار المؤسسي للتعامل في الصكوك والأدوات المالية.
8.    العمل علي ملاحظة التوافق الشرعي في عمليات الدولة المالية وفقاً للفتاوى الصادرة في الموضوع.
9.    العمل علي اقتراح البدائل الشرعية لتمويل الدولة محلياً وخارجياً.
إنجازات اللجنة:
1. إصدار صكوك الاستثمار الحكومية (صرح) القائمة على الإجارة والمرابحة والاستصناع حيث تم استجلاب معدات وأجهزة طبية لوزارة الصحة بغرض توطين العلاج، وإعادة تأهيل معامل الجامعات (وزارة التعليم العالي)؛ وتوفير أكثر من 7800 جهاز كمبيوتر للمدارس الثانوية، بمبلغ إجمالي مقداره 6 مليار دينار سوداني. بلغت الإصدارات في صرح حتى تأريخه سبع بمبلغ إجمالي مقداره 114.2مليار دينار تم من خلالها تمويل مشروعات تنموية مثل تأهيل هيئة السكة حديد والنقل النهري ومشروعات تنموية ولائية.
2. إصدار صكوك السلم والإجارة باستخدام:
v    صيغة السلم.
v    صيغة الإجارة.
v    عقد البيع.
3. دعم وتطوير سوق الخرطوم للأوراق المالية.
4. نشر ثقافة الصكوك علي المستوى المحلي والخارجي بالاشتراك في الأنشطة المختلفة (ندوات،  سمنارات، محاضرات، زيارات...الخ).
5. إنشاء علاقات مع الجهات الخارجية ذات الصلة لتبادل المعارف والخبرات.
6. الاستمرار في إصدار شهادات المشاركة الحكومية (شهامة) وتطويرها من خلال:
أ. اختيار مكون جديد لشهامة يحقق التوافق مع الموقف المتحسن للاقتصاد السوداني.
ب. تطوير عقود الوكلاء المتعاملين في الصكوك.
7. ابتكار صيغ متوافقة مع الأحكام الشرعية لتمويل الدولة وتأسيس الصكوك الحكومية عليها، بمخاطر متفاوتة ومحسوبة.
8. إدخال صيغة إجارة العين لمن باعها إجارة تشغيلية لتمويل الدولة، بما لديها من خصائص ومميزات.
مميزات الصكوك:
v    استثمار متوافق مع أحكام الشريعة الإسلامية تحت إشراف الهيئة العليا للرقابة الشرعية للجهاز المصرفي والمؤسسات المالية.
v    أرباح مجزية سنوية ونصف سنوية وربع سنوية.
v    استثمار مأمون (ضمان بنك السودان للمستحقات).
v    سيولة عالية، حيث يمكن تداول الصكوك في السوق الثانوي (سوق الخرطوم للأوراق المالية).
v    تحقيق التوازن الذهبي بين تمويل التنمية وتحقيق أرباح مجزية.
v    توفر تمويلاً نقدياً وعينياً قصير ومتوسط وطويل الأجل للدولة.
عضوية اللجنة:
تتألف اللجنة من خبراء وأكاديميين وممثلين للجهات التالية:
v    وزارة المالية والاقتصاد الوطني.
v    بنك السودان.
v    سوق الخرطوم للأوراق المالية.
v    شركة السودان للخدمات المالية المحدودة.
v   بعض الجامعات السودانية.

P
 
مبررات القول بجواز إجارة العين لمن باعها
إجارة منتهية بالتمليك

مقدمـــة:
 اختلف النظر في موضوع إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك، فهنالك من يرى عدم جوازه ، ويراه البعض الآخر جائزاً.
ولتحرير الخلاف في هذا الموضوع نحصر أسبابه ونظر كل فرقة فيـه:

أولاً:    " بيعتان في بيعـة" 
ذهب الذين لا يرون صحة إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك أنها تتضمن اشتراط عقد في عقد وهو من البيعتان في بيعة المنهي عنه.
أما الذين يرون صحة الإجارة بعد عقد البيع لمن باعها فاعتمدوا على رأي المالكية الذين لم يسلموا بصحة هذا التفسير للبيعتين في بيعة، وأجازوا اشتراط عقد في عقد إذا كان فيه منفعة للناس، ولم يتضمن ما نهى الله ورسوله عنه.
     والنظر الفقهي المعاصر لا يرى تحقق بيعتان في بيعة في هذه الصورة، ويجوّز – في رأي الأكثرية - إجارة العين لمن باعها إجارة تشغيلية، وكما ترى فإن ذلك يقتضي اشتراط إجارة العين بعد بيعها في أحد صورها.


ثانيـاً:    الإجارة المنتهية بالتمليك  
الرأي الفقهي الذي لا يرى جواز إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك يتقوى بالقول: أن مآل المعاملة في هذه الحالة إلى العينة لا محالة، حيث يتم تبادل مال نقدي بمال مؤجل أكثر مع عودة العين إلى صاحبها، وهذا عكس العينة، ويأخذ حكمها.  
 ولما كان الحكم على الموضوع يقوم على مدى جواز الإجارة المنتهية بالتمليك وتخريجاتها، اقتضى الأمر البدء بها: وهي صيغة تمويلية يؤجر فيها المالك أصلاً للمستأجر بأجرة معلومة وأجل محدد، بشرط تمليك الأصل للمستأجر بعقد هبة أو بوعد عند انتهاء أجل الإجارة.
وقد أجاز مجمع الفقه الإسلامي بجدة هذه الصورة في قراره رقم 110(4/12)، بضوابط أهمها:
1.     وجود عقدين منفصلين، يستقل كل منهما عن الآخر زماناً بحيث يكون ابرام عقد الهبة أو الوعد بها بعد عقد الإجارة.
2.     أن تكون الإجارة فعلية وليست ساترة للبيع.
3.     أن يكون ضمان العين المؤجرة على المالك لا المستأجر.
4.     يجب أن تنطبق على عقد الإجارة المنتهية بالتمليك أحكام الإجارة طوال مدة الإجارة.

 وهكذا فإن قرار مجمع الفقه الإسلامي عدّ الإجارة المنتهية بالتمليك إجارة وليست بيعاً (الضابط رقم 2و4). لذلك فإن تحول ملكية العين إلى المستأجر محتملة وليست أكيدة.

هل إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك تؤول إلى العينة؟
  إن إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك يحتوي على عقدين:
أ‌.       عقد بيع بين المالك للعين والمشتري.
ب‌.   عقد إجارة بين المالك الجديد والمستأجر وهو المالك الأول. وهذان عقدان منفصلان يجوز كل واحد منهما ابتداءً، وقد رأينا عدم انطباق قاعدة "بيعتان في بيعة" عليهما. كما أن قرار مجمع الفقه يجيز الإجارة المنتهية بالتمليك باعتبارها إجارة.

لذلك فإن القول بوقوع العينة على هذه الصورة، لا يتحقق باعتبار أن العينة تقتضي بيعاً بين الطرفين ينشأ ويستند على عقد بيع سابق. ولا يوجد عقد بيع لاحق في المعاملة، وإنما تقوم على عقد إجارة، وانتقال ملكية العين فيها إلى المستأجر محتملة، وتنطبق عليه كل أحكام الإجارة، بحسب فتوى المجمع.
وتجدر الإشارة الى أن الإمام مالك يرى جواز: " أن يكري الدار من الذي أكراها منه" (ابن رشد: بداية المجتهد ونهاية المقتصد، ج2-أحكام الإيجارات). وهذا يشبه تماماً موضوعنا، في الكراء الثاني.
    وبالنظر إلى أن الوعد بالهبة يجعل احتمال انتقال الملك مرجحاً، فإن ذلك يغلب شبهة، ما يمكن وصفه، بالعينة الايجارية التي تختلف عن بيع العينة، ولا تأخذ حكمها، للتغير الذي يصيب العين في مدة الإجارة المتطاولة والتي قد تبلغ عشرات السنوات في بعض التطبيقات.


ثالثـاً: العينــة
عن ابن عمر قال سمعت رسول الله  rيقول:( إذا تبايعتم بالعينة وأخذتم أذناب البقر ورضيتم بالزرع وتركتم الجهاد سلط الله عليكم ذلاً لا ينزعه حتى ترجعوا إلى دينكم (سنن أبي داود ،ج3،صـ272 وأحمد). وفي اسناده مقال( سبل السلام، م2،ص19-20).
ومعنى العينة مختلف فيه، والظاهر هو: أن يبيع سلعة بثمن معلوم إلى أجل ثم يشتريها من المشتري بنقد أقل. وذهب إلى تحريمها مالك وأحمد. وأما الشافعي فنقل عنه أنه قال بجواز بيع العينة، وأيد ماذهب إليه بأن الإجماع قد قام على جواز البيع من البائع بعد مدة لا لأجل التوصل إلى عوده إليه بالزيادة (المرجع السابق).

    وحديث ابي داود لا ينتهض دليلاً على تحريم العينة، ليس للمقال الذي فيه فقط، وإنما لأن التحريم يقتضي تحريم الحرث والزرع كذلك. والإجماع على أن الاشتغال بهما مباح بل واجب في بعض الأحيان.
     وما يدل عليه الحديث، هو الحث على الجهاد والزجر والتقريع عن الركون إلى الدنيا والاخلاد إليها والتعلق بالأسباب التي تعمق من هذا الركون، كالتبايع بالعينة(التجارة) والانكباب على الزرع والحرث والرعي. وقد يخرج الزجر عن هذه الأعمال مخرج الذم وليس مخرج التحريم.

     ولعل الذين يرون عدم جواز العينة يعولون على حديث أم المؤمنين السيدة عائشة، ورأي المالكية الذين يرون سد الذرائع الربوية، وأحد صورها) أبيع منك هذا الحمار بعشرين إلى شهر، ثم أشتريه منك بعشرة نقداً) ويحتج من يرى عدم جواز ذلك: بحديث العالية عن عائشة أنها سمعتها وقد قالت لها امرأة كانت أم ولد لزيد بن أرقم: يا أم المؤمنين إني بعت من زيد عبداً إلى العطاء بثمانمائة فاحتاج إلى ثمنه فاشتريته منه قبل محل الأجل بستمائة، فقالت عائشة: بئسما شريت، وبئسما اشتريت، أبلغي زيداً أنه قد أبطل جهاده مع رسول الله إن لم يتب، قالت: أرأيت إن تركت وأخذت الستمائة دينار؟ قالت نعم: " فمن جاءه موعظة من ربه فانتهى فله ما سلف" ( ابن رشد، مرجع سابق، باب في بيوع الذرائع الربوية).

    وقد قال الشافعي وأصحابه: لا يثبت حديث عائشة، وأيضاً فإن زيداً قد خالفها، وإذا اختلف الصحابة فمذهبنا القياس. وروى مثل قول الشافعي عن ابن عمر . ورأي الشافعي أن حمل الناس على التهم لا يجوز. وإنما يراعي فيما يحل ويحرم من البيوع ما اشترطا وذكراه بألسنتهما وظهر من فعلهما، لإجماع العلماء على أنه إذا قال أبيعك هذه الدراهم بدراهم مثلها وأنظرك حولاً أو شهراً أنه لا يجوز، ولو قال له: أسلفني دراهم وأمهلنى بها حولاً أو شهراً جاز، فليس بينهما إلاّ اختلاف لفظ البيع وقصده ولفظ القرض وقصده.
     ويرى مالك وجمهور أهل المدينة أن من باع شيئاً إلى أجل ثم اشتراه قبل الأجل نقداً بأقل من الثمن، فإن ذلك لا يجوز، وقال الشافعي وداود وأبو ثور يجوز  ( المرجع السابق ).

     وهكذا نرى أن العينة وإن ثبتت في الصيغة المقترحة، فمختلف فيها. ومن الفقهاء الأعلام الذين يعتد بمذهبهم من يرى جوازها، مما يؤيد إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك، في تطبيقات خاصة تخرجنا من الحرج الشرعي كما سيأتي بيانه في تمويل الدولة عن طريق هذه الصيغة.

     وقد تتبع ابن حزم حديث العالية أعلاه، وحكم ببطلانه وبرأ أم المؤمنين من الحكم على بطلان جهاد صحابي جليل كزيد شهد مع الرسول الكريم سائر غزواته ولم تفته إلا غزوتان فقط، بدر واحد، وشهد بيعة الرضوان تحت الشجرة بالحديبية، ونزل فيه القرآن بالصدق وبالجنة على لسان رسوله عليه السلام: أنه لا يدخل النار أحد بايع تحت الشجرة. ونص القرآن بأن الله تعالى قد رضي عنه وعن أصحابه الذين بايعوا تحت الشجرة (ابن حزم، المحلى ج7، ص549- ص51).

نتيجـة:
    وهكذا نرى أن من يجيز إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك، يعتمد على أسس قويـة:
1.     تنفي عنها "بيعتان في بيعة "، بإتفاق مع الرأي الذي لا يجيز.
2.     تثبت أن العقد الثاني هو عقد إجارة تنطبق عليه أحكامها فهو بذلك ليس بيعاً، لذلك:
3.     فإن العينة لا تقع، وانتقال الملك احتمالي وليس قطعياً.
4.     ومن رجح انتقال الملك عند نهاية الإجارة بهبة أو وعد، غلّب العينة الإيجارية، وهي ليست بيع عينة، ولا ينطبق عليها حكمها.
5.     وإن سلمنا بوقوع العينة – وهي لا تقع – فإن منعها مختلف فيه، مما قد يبرر العمل بها في تطبيقات خاصة، تغليباً للمصلحة، وابتعاداً عن المحظور.  


إجارة العين لمن باعها  إجارة منتهية بالتمليك لتمويل الدولـة
   
  نعلم أهمية تمويل الدولة من خلال الصكوك الحكومية لما لها من آثار اقتصادية واجتماعية وسياسية بعيدة المدى. لا سيما أن الصكوك تساعد على الاستقرار الاقتصادي، ودعم عمليات السوق المفتوح من خلال تنمية وتطوير سوق الخرطوم للأوراق المالية، وكذلك للآثار الحسنة المرتبطة بالتحكم في معدل التضخم عن طريق استخدام الصكوك، التي تمثل أموالاً حقيقية تساعد على استقرار سعر الصرف، وزيادة الطلب على الدينار السوداني الذي تصدر به هذه الصكوك.
     والحاجة إلى تمويل الدولة اقتضى تجاوز المباحات والمشتبهات إلى الضرورات التي تبيح المحظورات ) فمن اضطر غير باغٍ ولا عاد فلا إثم عليه( "البقرة، 173" فجاز للدولة الاقتراض بالفائدة.

     وما ندعو إليه ليس استحلال الحرام أو الولوج فيه وإنما ندعو إلى تبني وجهة نظر قائمة على فقه يعتد به ويعول عليه يخرجنا من اللجوء إلى فقه الضرورات إلى فقه غاية القول فيه انه قول أو رأي مرجوح.
فتدخل الدولة مع صندوق مالي يشتري منها نقداً أصولاً تملكها ثم يقوم بتأجير هذه الأصول إليها إجارة منتهية بالتمليك.

ولا بأس من أن تحصر هذه الصيغة في التعامل مع الدولة فقط، فتجوز إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك للدولة وليس لغيرها. وما يدعو إلى هذا هو توقير النظر الفقهي المانع والتعايش معه.
 ولا نقول إلا ما نظنه صواباً، والله يهدي من يشاء إلى صراط مستقيم، وهو المبلغ إليه .

وبالله التوفيـق ،،، ،،،

د. التجاني عبد القادر
                                                                         عضو الهيئة


تعليق سماحة الشيخ البرفسيور/ الصديق محمد الأمين الضرير
على بحث الدكتور/ التجاني: مبررات القول بجواز إجارة العين...

الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على سيدنا محمد خاتم النبيين، وعلى سائر الأنبياء والمرسلين
وبعد،،،
فهذا تعليق على بحث الدكتور التجاني عبدالقادر:

مبررات القول بجواز إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك
قدم الدكتور التجاني بحثاً جامعاً يشكر عليه، ولكني لا أوافق عليه للآتي:
أولاً: قال الباحث في" أولاً " إن الذين لا يرون صحة إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك أنها من " بيعتان في بيعة " المنهي عنه، وختم الفقرة بقوله: والنظر الفقهي المعاصر لا يرى تحقق " بيعتان في بيعة " في هذه الصورة، ويجوز في رأي الأكثرية إجارة العين لمن باعها إجارة تشغيلية.
أقول- هذا خلط بين إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك، كما في العنوان، وإجارة العين لمن باعها إجارة تشغيلية، الذي قال الباحث إنه يجوزه أكثر الفقهاء، وأنا لا اعلم فقيهاً واحداً منعه، والخلاف هو في إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك، وهو عنوان البحث.
ثم إن العبارة الأخيرة في " أولاً " وكما ترى ذلك يقتضي اشتراط إجارة العين بعد بيعها في احد صورها غير مفهومة.

ثانياً: قال الباحث في " ثانياً " أن الذين لا يرون جواز إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك يتقوى بالقول إن مآل المعاملة في هذه الحالة إلي العينة لا محالة ... " وهذا حق.
ثم قال بعد ذلك " ولما كان الحكم على الموضوع يقوم على مدي جواز الإجارة المنتهية بالتمليك، وتخريجاتها اقتضي الأمر البدء بها..."
وذكر الباحث إجازة مجمع الفقه الإسلامي بجدة لهذه الصورة بالضوابط التي ذكرها المجمع، وعلق على القرار بقوله: وهكذا فان قرار مجمع الفقه الإسلامي عد الإجارة المنتهية بالتمليك إجارة وليست بيعاً ...الخ ولم يفصح لنا الباحث ماذا يريد من إيراد هذا القرار، هل يريد أن يستدل به على جواز إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك مع الفارق الواضح بين المسألتين؟

ثالثاً: كتب الباحث العنوان التالي في صفحة (2)
هل إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك تؤول إلى العينة؟
يخلط الباحث خلطاً شديداً بين الإجارة المنتهية بالتمليك التي أجازها المجمع، وإجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك التي نتحدث عنها، ويريد ان يستدل بإجازة المجمع للأولي على إجازته للثانية، والفرق بين الاثنين كبير جداً؛ لان الصورة الثانية لا تجوز؛ لأنها عينة، والعينة غير متصورة في الصورة الأولي التي أجازها المجمع.

رابعاً: تحدث الباحث في " ثالثا"  عن العينة فذكر حديث " إذا تبايعتم بالعينة ...." ورد الاستدلال به على تحريم العينة، وأوافقه على ذلك.
وقال إن معنى العينة مختلف فيه، والظاهر هو أن يبيع سلعة بثمن معلوم إلي أجل، ثم يشتريها من المشتري بنقد أقل.
وأقول: لا اختلاف في أن الصورة التي ذكرها من العينة، ويلحق بالعينة " عكس العينة " وهي أن يبيع سلعة بثمن حال، ثم يشتريها من المشتري بثمن أكثر مؤجل؛ لانه لا فرق بين الصورتين.
وقال الباحث: وذهب إلى تحريمها ( العينة) مالك واحمد.
وأقول: العينة في الصورة التي نتحدث عنها منعها جميع الفقهاء بما فيهم الشافعي وابن حزم كما سنري.
قال الباحث: ولعل الذين يرون عدم جواز العينة يعولون على حديث أم المؤمنين ورأي المالكية الذين يرون سد الذرائع الربوية....
وأقول: سلمنا بقول الشافعي: إن حديث عائشة لا يثبت ... ولكنا نعول على قول المالكية الذين لا يخالفهم فيه أحد، وهو إن سد الذرائع الربوية واجب، وإن التحايل على الربا محرم، وإن استحلال الربا بالبيع لا يجوز.
يقول الباحث في آخر صفحة (4):
وهكذا يرى أن العينة وإن ثبتت في الصيغة المقترحة مختلف فيها، ومن الفقهاء الاعلام الذين يعتد بمذاهبهم من يري جوازها مما يؤيد إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك.
أقول: إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك من العينة التي لم يقل فقيه بجوازها حتى الشافعي وابن حزم؛ لان الشافعي يشترط الا يكون هناك ارتباط بين البيعتين: البيعة التي بالأجل والبيعة التي بالنقد، والا تظهر نية الحصول على النقد، وكلا الشرطين غير متحقق في إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك.
يقول الشافعي في ضمن استدلاله على جواز العينة: ليست البيعة الثانية من البيعة الأولي بسبيل، الا تري أنه كان للمشتري البيعة الأولي إن كانت أمة ان يصيبها، او يهبها، أو يبيعها، ممن شاء غير بيعه بأقل، أو اكثر مما اشتراها به نسيئة(1)
فهل يستطيع مشتري العين في مسألتنا أن يهبها أو يبيعها لمن يشاء، وقد اشترط في عقد البيع أن يؤجرها لبائعها إجارة منتهية بالتمليك.
ويقول الشافعي: أصل ما أذهب إليه: أن كل عقد كان صحيحاً في الظاهر لم أبطله بتهمة، ولعادة بين المتبايعين، واجزته بصحة الظاهر، وأكره لهما النية، اذا كانت النية لو أظهرت كانت تفسد البيع(2)
وأكره المراد بها هنا المنع، والنية في مسألتنا ظاهرة، بل مصرح بها بالنسبة للدولة، كما جاء في آخر كلام الباحث.

خامساً: كتب الباحث في صفحة (4) العنوان التالي:
نتيجة:
وكتب بعده: وهكذا نرى أن من يجيز إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك يعتمد على أسس قوية"
وذكر أساسين فقط
(1)  تنفي عنها " بيعتان في بيعة"
1/ الأم 3/69
2/ الأم 3/65

 
وأوافقه على هذا، ولكن نفي هذا وحده لا يكفي.
(2)  تثبت أن العقد الثاني هو عقد إجارة تنطبق عليه أحكامها، فهو بذلك ليس بيعاً.
  أقول: هذا تجاهل للواقع، لان المنصوص عليه أنه عقد إجارة منتهية بالتمليك.
  ثم قال الباحث بعد هذا:
  لذلك:

وذكر ثلاثة أشياء أضافها إلى الأساسين السابقين، ولست أدري كيف يستقيم هذا، وثلاثة الأشياء هي:
(3)  فان العينة لا تقع، وانتقال الملك احتمالي وليس قطعياً. أقول العينة واقعة، وانتقال الملك مشروط، أو مدخول عليه، وهو الغالب، وتخلفه نادر، والنادر لا حكم له.
(4)  ومن رجح انتقال الملك عند نهاية الإجارة بهبة أو وعد غلب العينة الايجاريه وهي ليست بيع عينة، ولا ينطبق عليها حكمها.
  أقول: لم يحدثنا الباحث عن " العينة الايجارية" ولا عن الذين غلبوها وكيف؟
(5)  وإن سلمنا بوقوع العينة – وهي لا تقع – فإن منعها مختلف فيه مما قد يبرر العمل بها في تطبيقات خاصة تغليباً للمصلحة، وابتعاداً عن المحظور.
    أقول: بينت ان العينة التي في مسألتنا لا اختلاف في منعها.

سادساً: كتب الباحث بعد ذلك العنوان التالي: 
         إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك لتمويل الدولة
تحدث الباحث تحت هذا العنوان عن أهمية تمويل الدولة من خلال الصكوك الحكومية، وعن الحاجة إلى تمويل الدولة، وانه يباح لها الاقتراض بالفائدة للضرورة، وهو يرى أن ما يدعو إليه أفضل من اللجوء إلي فقه الضرورات؛ لان ما يدعو إليه هو قول أو رأي مرجوح.
وأقول للباحث: لو كان ما تدعو إليه قولا مرجوحاً لقبلناه، ولكنه قول لم يقل به أحد، وإنما هو استحلال للربا باسم البيع.

سابعاً: صرح الباحث بما يدعو إليه فقال:
تدخل الدولة مع صندوق مالي يشتري منها نقداً أصولا تملكها ثم يقوم بتأجير هذه الأصول إليها إجارة منتهية بالتمليك.
أقول: هذه هي إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك التي انتهينا الى منعها، ويريد الباحث ان يجيزها للدولة بصفة خاصة، فهل يريد الباحث أن يقول: لاربا بين الدولة والرعية؟

ثامناً وآخراً: ان الفتوى بجواز إجارة العين لمن باعها اجارة منتهية بالتمليك، ولو كان البائع هو الدولة، هي استحلال للربا باسم البيع الذي أخبرنا به النبي r في قوله: يأتي على الناس زمان يستحلون الربا بالبيع(1)
" ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم ".

الصورة الجائزة التي تؤدي الغرض هي:
أن تدخل الدولة مع صندوق مالي يشتري منها نقداً أصولاً تملكها، ثم يقوم بتأجير هذه الأصول إليها إجارة عادية بأجر المثل، ولا مانع بعد ذلك من أن تشتري الدولة من هذه الأصول إذا رغب مالكها في بيعها.




الصديق محمد الأمين الضرير
9 / ذو القعدة/1425هـ
20/12/2004م 
 









(1) هذا الحديث وإن كان مرسلاً فأنه صالح للاعتضاد به بالاتفاق، وله من المسندات ما يشهد له- نيل الأوطار 5-220.
 
 





P
تعقيب د. التجاني على تعليق الشيخ الضرير

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وآله ومن والاه ،،، ،،،

ملخص:
قدم د. التجاني عبد القادر أحمد ورقة حول الموضوع بعنوان: " مبررات القول بجواز إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك ". باعتبار أن عملية إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك تتألف من عقدين كلاهما جائز، فإذا اجتمعا في عقد واحد لا يؤثر ذلك على جوازهما ولا يضير، لا سيما أن مجمع الفقه الإسلامي بجدة عد عقد الإجارة المنتهية بالتمليك، عقد إجارة وليس عقد بيع. ولم يلتفت إلى انتقال وتحول ملكية العين في نهاية العقد باعتبارها محتملة.
كتب الشيخ البروفيسور الصديق الضرير تعليقاً على ورقة د. التجاني أورد فيها التالـي:

1.         أن مجمع الفقه الإسلامي بجدة لم ينظر "إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك ". لم ينص الشيخ على ذلك في تعقيبه المكتوب، وإنما جرى ذكره شفاهة عند عرض التعليق.
2.         أن العملية وهي " إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك" مدخول فيها مع مراعاة انتقال ملكية العين  في نهاية مدة الإجارة إلى المستأجر الذي باعها،" لأن المنصوص عليه – كما ذكر الشيخ البروفيسور الضرير- أنه عقد إجارة منهية بالتمليك".
3.         لذلك فإن مآل المعاملة هو العينة لا محالة، إذ إنها عكس العينة ، وعكس العينة يأخذ حكم العينة وهو المنع.
4.      البديل هو: أن تباع العين ثم تستأجر إجارة تشغيلية، بحيث تباع بسعر السوق في نهاية مدة الإجارة للمستأجر أو لغيره. وعبر عنها الشيخ كالتالي:" أن تدخل الدولة مع صندوق مالي يشتري منها نقداً أصولاً تملكها، ثم يقوم بتأجير هذه الأصول إليها إجارة عادية بأجر المثل، ولا مانع بعد ذلك من أن تشتري الدولة من هذه الأصول إذا رغب مالكها في بيعها".

وبهذا التعقيب فإن العالم المحقق الشيخ صديق الضرير قد منحني فرصة لمزيد من التوضيح لوجهة نظري. ولا أزعم أن هذا رداً على الشيخ فهو من هو فضلاً وعلماً وقبولاًَ عند الناس ومن ثم عند الله –إن شاء الله – كما ذكر الحديث الشريف. وما يدعوني لمزيد التوضيح ما ختم به الشيخ الجليل تعقيبه من عبارة قوية شديدة تحذّر من استحلال الربا بالبيع، نسأل الله أن يعيذنا من ذلك.
وسأجعل من النقاط الأربع المذكورة أعلاه – وهي تلخص رأي الشيخ الجليل – أساساً لزيادة وجهة نظري توضيحاً وبياناً.

1.    أوافق تماماً أن مجمع الفقه الإسلامي بجدة لم يناقش أو ينظر: " إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك". وأن الذي ناقشه المجمع هو الإجارة المنتهية بالتمليك، وهذا منصوص عليه في الورقة التي تقدمت بها.
2.    أن إجازة المجمع للإجارة المنتهية بالتمليك ضمن شروط منها: انطباق مبادئ الإجارة عليها، يقضي بالتالـي:
أ‌.  أن العقد هو عقد إجارة وليس عقد بيع.
ب‌. المدخول عليه في العقد هو منفعة العين وليس ذاتها.
ج. انتقال ملكية الأصل إلى المستأجر محتملة، وليست ملاحظة عند إبرام العقد للآتـي:
- احتمال هلاك العين خلال فترة الإجارة.
- التقادم والبلى الذي قد يصيب العين خلال فترة الإجارة.
- تحول الأسواق إذ ربما قل ثمن العين عن أجرتها أو ربما أصبحت قيمتها صفراً. وهذا يلاحظ كثيراً في بعض حالات الآلات التقنية.
3. تجدر الإشارة إلى أن الخلاف الفقهي في الإجارة المنتهية بالتمليك يقوم على تغليب أحد أمرين هما البيع أو الإجارة. فمن رجح أن عقد البيع هو المقصود حكم بمنع الإجارة المنتهية بالتمليك، وعدها إجارة ساترة للبيع والإجارة غير مقصودة. لذلك منعها. أما الذين أجازوها فقد غلّبوا ولاحظوا عقد الإجارة وبيع المنفعة فيها، فهي بذلك إجارة وليست بيعاً، وعلى هذا الأساس أجازوها، وهذا ما رجحه مجمع الفقه الإسلامي بجدة، الذي لاحظ وغلّب الإجارة على البيع وانتقال ملكية الأصل، فحكم بأنها إجارة.

بناء على ما سبق فإن النظر إلى الإجارة المنتهية بالتمليك باعتبار أنها إجارة ينفي عنها البيع ولا يلحظ انتقال ملكية العين إلى المستأجر ولهذا جازت عنده الإجارة. أما إذا غلب نقل الملك فإن ذلك يجعلها بيعاً.
لذلك فمن المنطق القول بأن من أجاز الإجارة المنتهية بالتمليك ينبغي أن يجيز إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك.
وذلك لأن من يراها إجارة لا يلحظ فيها انتقال الملك عند نهاية مدتها. وبذلك فإن العينة لا تتحقق. وموضوع العينة هو الأساس الذي قام عليه منع "إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك. " والذي يقول بالعينة في هذا الأمر يرى ان الإجارة المنتهية بالتمليك بيعاً وليست إجارة لذلك فإن حكمه على "الإجارة المنتهية بالتمليك" كان يجب أن يكون المنع.

أما إذا اجزنا الإجارة المنتهية بالتمليك فالمنطق يقضي بجواز الصورة موضوع الخلاف.
يبقى ملحظ أخير يتعلق بالتسمية، فإذا كانت الإجارة هي المقصودة فلماذا سميت "بالمنتهية بالتمليك" ؟.
والرد على ذلك أن هذه ظلال تأريخية لازمت العقد. والفتوى تقضي بنفي انتقال الملكية. لذلك كان من دواعي إصدار الفتوى بالجواز تغيير مسمى الصيغة، وإلغاء العبارة الأخيرة.
فانتقال الملك ليس مقصوداً للأسباب التي ذكرت سابقاً وهي: هلاك العين أو تحول الأسواق أو التقادم  والبلى . واقترح في هذا المقام تسميتها " الإجارة التمويلية". حيث مقصود المستأجر هو الحصول على التمويل بصيغة متوافقة مع الأحكام الشرعية.


4. البديل الذي اقترحه الشيخ، يحقق التوافق الشرعي ولكنه قد يثير بعض العقبات العملية، ومن ذلك:
أ. إحجام المستثمرين الذين يرغبون في استثمارات مخاطرها متدنية، لأن البيع في نهاية المدة قد يكون بثمن أقل من القيمة الاسمية للأصل.
ب. عدم معرفة الربحية المتوقعة، وهي أساس لاشتراك المستثمرين في الصندوق المالي.
ج. يصعب تسعيير الصكوك لعدم وجود أساس لتسعيرها، مما يؤثر سلباً على تداولها.
    وهذه التحفظات تجعل إقبال المستثمرين على صكوك الاستثمار القائمة على الصيغ الإسلامية ضعيفاً. باعتبار أن المستثمر معني بجانبين الجانب الشرعي والجانب العملي المالي والاستثماري.
ولا يخفى أن المرحلة المقبلة، تتطلب الأخذ في الاعتبار عند تصميم صناديق الاستثمار الإسلامية، بحذر شديد كل المعايير المرتبطة بالاستثمارات الشرعية منها والمالية، ومرونة وكفاية هذه الصناديق بما يحقق متطلبات ورغبات المستثمرين المختلفة وإلا فإن كثير من المستثمرين سوف يتحول إلى الاستثمار التقليدي، لا سيما إذا توافرت فيه مرونة عالية واستجابة لرغبات المستثمرين.
والمعلوم أن شريحة المستثمرين تتركز في ثلاث فئات هي:
أ‌.      فئة تستثمر وفق الرؤية الشرعية في كل الأوقات.
ب‌.   فئة لا ترغب في الاستثمار بالصيغ الشرعية.
ج‌.   فئة بين الفئتين تراعي الجوانب الفنية وكفاءة الاستثمار وما يحقق لها من سهولة ومرونة ويسر. وتوجد ضمن هذه الفئة مجموعة سريعة التحرك بين الفئتين (أ) و(ب). وتجدر الإشارة إلى أن هذه الفئة تمثل أكبر مجموعة في الفئات الثلاث.  

ولا أدعي علماً لم تحاكك – لتلقيه – ركبي ركب العلماء، ولم اصطف لتحصيله في طابورهم أو أواجه قر الشتاء وحر الصيف على أبوابهم لتهذيبه، وإنما هي نظرة متأملة في فتوى المجمع لاستنكاه الأسس التي قامت عليها، فإن كانت صائبة فمن الله وإن كانت غير ذلك فنعوذ بالله من الخذلان، والله أعلم بالصواب، وهو الذي يهدي إليه، وبه التوفيق وعليه التوكل.




                                                        د. التجاني عبد القادر أحمد
                                                                       عضو الهئية 












بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على سيدنا محمد خاتم النبيين،
وعلى سائر الأنبياء والمرسلين
وبعد،،،

فهذا تعقيب مختصر على تعقيب د. التجاني عبد القادر على تعقيبي على بحثه:

مبررات القول بجواز إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك
أولاً:
مازال الدكتور التجاني يصر على رأيه بجواز إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك قياساً على إجازة مجمع الفقه الإسلامي للإجارة المنتهية بالتمليك مع أن الفارق بينهما واضح وضوح الشمس، وهذا الفارق الذي يغمض الدكتور التجاني عينيه لئلا يراه هو أن الإجارة المنتهية بالتمليك التي أجازها المجمع العين فيها تبقى في ملك صاحبها مدة الإجارة، ثم تنتقل إلي ملك المؤجر بعقد من العقود الناقلة للملك، ولا تعود إلي صاحبها بعد ذلك، أما في إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك، فان العين تخرج من ملك صاحبها بالبيع، وتبقى في يده بالإجارة إلي أن تعود إلى ملكه بعقد من العقود الناقلة للملك، فإذا خرجت العين من ملكه بمائة، وأجرها من مشتريها مدة دفع فيها مائة وخمسين، ثم وهبها إليه المشترى، فان العين تعود إليه، ويكون قد أخذ مائة نقداً، ودفع مائة وخمسين مقسطة، وهذا هو استحلال الربا بالبيع الذي أخبرنا به الرسول صلى الله عليه وسلم.

ثانياً:
 إن إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك العينة متحققة فيها قطعاً، ويجب أن تكون أشد منعاً من صورة العينة التي منعتها السيدة عائشة؛ لأن الصورة التي وردت في حديث عائشة يحتمل فيها إلا تعود العين إلى بائعها، لأن المشتري يستطيع أن يتصرف في العين بالبيع وغيره لغير من اشتراها منه – وهذا هو المعنى الذي جعل الشافعي يجيزها – أما في إجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك فإِن المشتري لا يستطيع أن يتصرف في العين بغير إجارتها لبائعها إجارة منتهية بالتمليك فالعين ستعود إلى صاحبها قطعاً، ويكون قد أخذ مائة ورد مائة وخمسين، ولا اعتبار للعين؛ لانها خرجت منه وعادت إليه، وهذا هو معنى القاعدة " ما خرج من اليد وعاد إليها لغو " أي لا اعتبار له، وإنما الاعتبار بحقيقة المعاملة وهى: مائة بمائة وخمسين نظير الأجل. " ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم ".

ثالثــاً:
هذا بالنسبة للحكم الشرعي لإجارة العين لمن باعها إجارة منتهية بالتمليك، أما بالنسبة للبديل الذي قدمته لها فقد قبله الدكتور التجاني من وجهة النظر الشرعية، ورفضه من وجهة النظر الاقتصادية، فاترك الرد عليه للاقتصاديين. 






                                            الصديق محمد الأمين الضرير   

 15 /ذو الحجة /1425هـ  
25/1/2005م
















بسم الله الرحمن الرحيم
جمهوريــــــــــة الســـــــــــودان
الهيئة العليا للرقابة الشرعية للجهاز المصرفي والمؤسسات المالية








 

19/1/2006م                                                                                                                                                                                     وم أ/ص ح/1/7


سماحة الشيخ البروفسور
       الصديق محمد الأمين الضرير   حفظة الله،،،  ،،،،
رئيس الهيئة العليا للرقابة الشرعية
للجهاز المصرفي والمؤسسات المالية الإسلامية

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته ،،،، وبعد

فإشارة إلى موضوع تحديد مكافأة " أجر " مدير التأمين التعاوني، والذي تمت مناقشته في لقاء الهيئة، بتأريخ 18 ذو الحجة 1426هـ (19/1/2006م) فأود الإشارة إلى التالي :
1.  يعمل التأمين التعاوني "الإسلامي" بديلاً للتأمين التجاري، بنقل التأمين من عقود المعاوضات إلى عقود التبرعات، وذلك باشتراك مجموعة من الأشخاص بأقساط مالية تبرعاً بهدف التأمين ضد خطر محدد بأن يعوض من يصاب منهم بذلك الخطر من هذه الأقساط.
2.    تدير التأمين " الوعاء المالي"  جهات متخصصة بهدف:
-       إعداد عقود التامين.
-       حساب وتحصيل القسط التأميني.
-       إدارة الوعاء التأميني.
-       تحديد أقساط إعادة التامين " الإسلامي" وتنفيذه.
-       استثمار الأموال بطرق متوافقة مع الأحكام الشرعية.
-       تعويض المتضررين.......
3.   من القضايا المهمة في الـتأمين التعاوني تحديد أجر للجهات التي تقوم بإدارة التأمين. وتكمن أهمية ذلك في ارتباطه بشكل مباشر بتنمية وتطوير صناعة التأمين التعاوني. وتحديد الأجر المناسب بالطرق العلمية السائدة مدعاة لتحسين الأداء وتجويده وإيجاد بيئة تنافسية مناسبة تحقق ذلك.
4. من اجل المحافظة على صناعة التأمين التعاوني وتطويره يقترح لتحديد مكأفاة " أجر" الجهة التي تقوم بإدارة التأمين التعاوني الآتي:
Ø     أجر مقطوع ويمكن أن يحسب هذا الأجر ضمن القسط التأميني الذي يدفعه المستأمن.
Ø     حافز للمدير يحسب كنسبة مئوية من الفائض التأميني إذا تحقق. أو أن يكون هذا الحافز بصيغة:
(ما ذاد عن كذا من الفائض التأميني يدفع للمدير"شركة التأمين").
     وبهذا يتحقق لشركات التأمين الاستفادة من الفائض، والعمل على إدارة التأمين التعاوني بشكل فعّال وبكفاءة عالية. وهذه الصيغة مستخدمة في عقد المضاربة حيث يجوز أن يحفز المضارب في حالة تحقيق ربح معين في المضاربة. وقد نص معيار المضاربة الصادر عن هيئة المحاسبة والمراجعة للمؤسسات الإسلامية على ذلك، وأشار إلى جواز اتفاق طرفي العقد في المضاربة على اختصاص احد طرفي المضاربة بالربح الزائد عن نسبة معينة يتفقان عليها.

5. الأمر مرفوع إلى هيئتكم الموقرة للحكم في مدى جواز ذلك.


                                                                   أخوكم/
د. التجاني عبد القادر أحمد
                                                                               عضو الهيئة




مرفقات:
- مذكرة حول مكافأة " أجر" المدير في التأمين التعاوني.
 
 






بسم الله الرحمن الرحيم
مكافأة  (أجر) مديري التأميـن التعاونــي

د. التجاني عبد القادر أحمد
"رئيس اللجنة الاستشارية العليا للصكوك الحكومية"
وزارة المالية والاقتصاد الوطني
§        تقديــم :
   أجمعت الفتاوي الصادرة عن الهيئات والمؤتمرات والمجامع الإسلامية على عدم جواز التأمين التجاري لإشتماله على الغرر المؤثر والمفسد لعقود المعاوضات ، كما نصت على ذلك السنة النبوية الشريفة . وقد تم اقتراح التأمين التعاوني كبديل شرعي مقبول للتأمين التجاري ، لينتقل التأمين من مجموعة عقود المعاوضات إلى مجموعة عقود التبرعات التي لا يفسدها الغرر وإن كثر .
   وتقوم فكرة التأمين التعاوني على اشتراك مجموعة من الأشخاص بهدف التأمين ضد خطر محدد بأن يتبرع كل منهم بمبلغ بقصد تعويض من يصاب منهم بذلك الخطر.
من الموضوعات المهمة المتعلقة بالتأمين التعاوني تحديد أجر الشركات التي تدير أعمال التامين. فالمعلوم أن المستأمنين (المتبرعين) في التأمين التعاوني يحتاجون إلى من يدير لهم الوعاء المالي بهدف:
o       إعداد عقود التأمين وشروطها.
o       حساب وتحصيل القسط التأميني.
o       إدارة الوعاء التأميني.
o       تحديد أقساط إعادة التأمين.
o       استثمار الأموال بطرق متوافقة مع الأحكام الشرعية.
o       تعويض المتضررين.
 وتحديد أجر أو مكافأة للشركات التي تدير التأمين التعاوني أمر مهم لأنه يتعلق بتنمية وتطوير صناعة التأمين التعاوني. حيث إنه من المعلوم أن المنافسة هي التي تدعو إلى تحسين وتجويد الأداء وتطويره، الأمر الذي يتحقق فقط في حالة الاتفاق على أسلوب أو نظام يحدد أجر مديري التأمين التعاوني، لذلك وجب دراستها ومناقشتها بهدف اقتراح سبل ووسائل تحدد في ضوئها معايير وطرق هذه المكافأة والأجر.
ويقترح تحديد أجر مدير التأمين التعاوني ليكون أجراً مقطوعاً أو نسبة محددة مع منحه حافزاً أضافياً عن حسن إدارته للتأمين من فائض التأمين. ويمكن أن يأخذ هذا الحافز صيغة إذا زاد الفائض التأميني عن حد كذا فهو للمدير، والفتوى عليه في المضاربة.

§        فكـرة التأميـن
الكوراث المفاجئة طبيعية كانت أو غير طبيعية والتي لا دور للإنسان في جلبها أو دفعها مثل : الإنفجارات ، الحريق ، الغرق ، الآفات ، الإصابات ...الخ . أو المسئولية القانونية النابعة عن استخدام السيارات أو المباني ، أو استخدام الموظفين ، هذا النوع من الخطر هو الذي دفع الإنسان للبحث عن وسيلة لاجتناب الآثار الإقتصادية الضارة الناتجة عنه، مما حدا به إلى إختراع نظام التأمين .
 والخطر من حيث هو ينقسم إلى نوعين : خطر محض ، وخطر ناتج عن المغامرة. ويحتوي الخطر الناتج عن المغامرة على إحتمال الربح أو الخسارة كالأعمال التجارية مثلاً . وبالمقابل فإن الخطر المحض يحتوي على إحتمالات الخسارة فقط من غير أي رجاء للربح مثال ذلك تعرض الممتلكات للحريق أو السرقة أو التلف ...الخ . وهذا النوع الأخير من الخطر هو بصورة رئيسـة موضوع التأمين .


§  تعريف التأميـن
التأمين هو وسيلة أو أداة لمعالجة الخطر ،ودوره الأساسي هو إحلال التأكد محل عدم التأكد فيما يتعلق بالتكلفة المالية المترتبة على الكوارث ، فالمستأمن في عقد التأمين (أي ذلك الذي يشتري بوليصة التأمين ) يقوم بدفع أقساط صغيرة نسبياً ومحددة ، وبذلك تتحول بالنسبة إليه إلى تكلفة مؤكدة ، وتحل هذه التكلفة المؤكدة محل التكلفة الضخمة والتي ربما كان عليه تحملها في حالة وقوع الخطر المؤمن ضده . وبصورة أكثر تحديداً يمكن تعريف التأمين بأنه نظام بموجبه يتعهد المؤمن مقابل مكافأة مالية ، بتعويض المستأمن أو أن يقدم له خدمات في حالة وقوع حوادث معينة تتسبب في وقوع خسائر للمستأمن خلال مدة محددة من الزمن.



§  الأركان التـي يقوم عليها نظام التأميـن
يقوم نظام التأمين على مبدئين ، هما : الخطر الذي يسعى المستأمنون إلى إجتنابه واحتمال وقوعه وقانون الأعداد الكبيرة الذي يساعد على حساب وقوع الخطر بدقة الأمر الذي يمكن من تحديد تكلفة الخطر ومن ثم توزيعها بين المستأمنين على أقساط صغيرة نسبياً مما يقلل من وقع الكارثة على الجهة التي تعرضت لها .

أ. الخطر وعدم التـأكد :
النشاط البشري وبالذات الإقتصادي منه محفوف بالخطر وعدم التأكد . فمثلاً إرتياد مجال تجاري لسلعة محددة يعتمد الربح منه على تكلفة إنتاج تلك السلعة وثمن بيعها . فمقدار ما يتحقق للمستثمر من ربح أو خسارة يعتمد على ظروف إقتصادية متعددة وهذا ما يمكن تسميته بعدم التأكد الإقتصادي والذي لا محيد للمستثمر من ركوبه ولكنه يتضمن دائماً فرصة الربح وإحتمال الخسارة .

   هنالك نوع آخر من الخطر ينطوي على خوف الخسارة من غير رجاء للربح . ويمكن قياس إحتمالات هذا الخطر ، فصانع الأواني الزجاجية مثلاً يعرف أن بعضها يتعرض للكسر ولكنه لا يمكن أن يحدد كم يتحطم منها في يوم معين ، إنما يمكنه أن يقدر خسارته اليومية وعلى وجه التقريب على المتوسط السنوي . كذلك تتعرض السفن للغرق والتحطيم ولا يستطيع الإنسان التنبؤ بالتحديد بالسفينة التي ستغرق بعينها . ولكن بالإعتماد على بيانات غرق السفن المستخلصة بناءً على ملاحظة حركة مئات الألوف من السفن خلال مدة طويلة ، يمكن إستخراج متوسط يمكن أن يصلح لقياس إحتمال غرق السفن .
 إن المواجهة الجماعية لهذا النوع من الخطر والذي يمكن تسميته بالخطر المحض ، تبث الإطمئنان في قلوب الأفراد وترفع من كفاءة أدائهم. مثل هذه المواجهة ممكنة بتطبيق قانون الأعداد الكبيرة ، أحد الأركان التي يقوم عليها نظام التأمين.

ب. قانون الأعداد الكبيرة :
يعتمد التأمين بصورة أساسية على قانون الأعداد الكبيرة حيث يمكن في مجتمع كبير متجانس تقدير تكرار الحوادث العامة مثل الموت والإصابات بدقة مناسبة والتنبؤ بالخسائر المرتبطة بها . وتتزايد هذه الدقة بإزدياد حجم أو أعداد المجموعة المعنية . فمن الناحية النظرية وبناءً على هذا القانون يمكن حساب مقدار الخطر وتجنبه في إطار مجموعة لا متناهية العدد أو الحجم .
وبالنظر إلى هذا القانون فإن بعض الكميات غير المؤكدة وغير الثابتة على المستوى الفردي تصبح مؤكدة وثابتة على مستوى مجموعة كبيرة متماثلة . فبالعودة إلى مثال السفن السابق ذكره: فإذا إفترضنا أن متوسط غرق السفن هو واحد بالألف سنوياً ، وأن متوسط ثمن السفينة الواحدة هو مائة ألف ريال .فيمكن لشركات الملاحة من خلال نظام التأمين جمع قيمة سفينة واحدة يدفع إلى الشركة التي تغرق سفينتها بالفعل . ولدرء هذا الخطر - الذي لا تقوى عليه شركة بمفردها- آثار إقتصادية وإجتماعية بعيدة المدى . وهذا بحق هو دور نظام التأمين .

    وتجدر الإشارة إلى أن هذا القانون كان معروفاً لدى فقهاء المسلمين، فها هو الإمام مالك بن أنس إمام دار الهجرة بحق، يجيز بيع لبن الغنم أياماً معدودة إذا كان ما يحلب منها معروفاً في العادة، ولم يجز ذلك في الشاة الواحدة (ابن رشد، بداية المجتهد ونهاية المقتصد).  وذلك لأن عدد الغنم وعدد الأيام يمكن من خلاله حساب متوسط ثابت لكمية اللبن المحلوب. وهذا هو قانون الأعداد الكبيرة بعينـه.


§  الأهمية الاقتصادية لتجنب الخطر أو تخفيف آثاره
من غير المتصور دخول الإنسان إلى أي مجال إستثماري إذا كان هذا المجال محفوف بالمخاطر ولا يرجو من ورائه ربحاً.
ويصبح عزوف الإنسان عن الإستثمار أشد إذا كانت الخسارة المتوقعة كبيرة جداً .فإذا واجه المستثمر في مجال النقل البحري مثلاً خطر الغرق في كل رحلة وما يترتب عليه من خسائر مالية هائلة فربما خاف وأحجم عن الإستثمار في مجال الملاحة مع ما ينجم من ذلك من آثار سيئة على النقل أو التبادلات الدولية . ولكن إذا تيسر له عن طريق دفع مبلغ نقدي صغير ضمان استرداد قيمة سفينته في حالة غرقها فسيرفع ذلك عوائق السفر والتجارة وتنشط الأعمال. وينطبق ذلك على سائر أوجه النشاط الإقتصادي مثل : الإستثمار التجاري مع خطر الحريق ، قيادة السيارة مع خطر التعرض للحوادث ، العمل في مصنع مع التعرض لأخطار المهنة ...الخ.
عندما يتحمل المنظم تكلفة صغيرة نسبياً ، مع أنها مؤكدة وهي عبارة عن أقساط التأمين ، فيمكنه على هذا الأساس تحديد تكاليفه الفعلية تحديداً دقيقاً مما يساعده على معرفة ربحه الفعلي مقارنة بثمن البيع المقدر . وبإنعدام نظام التأمين يترتب على رجال الأعمال إدخال تكلفة الخسارة الناجمة عن الخطر المحض في تكاليف الإنتاج مما يؤدي إلى إرتفاع ثمن بيع السلعة . ذلك لأنه ليس أمام رجال الأعمال لمواجهة الخطر المحض إلا فتح حساب احتياطي لتجنيب أموال كافية كل سنة أو دورة إنتاجية لتعويض الخسارة الناتجة عن الحادث الذي يقع مرة كل مدة زمنية طويلة . وهذا المبلغ أعلى بكثير من المبلغ الذي يتم دفعه كقسط تأميني . ولا يخفى أثر ذلك على تشجيع المستثمرين وتنشيط دورة العمل الإقتصادي . من كل ذلك نرى منافع التأمين وفوائده الجمة على مستوى الفرد والجماعة وما يؤدي إليه من إستقرار الحياة الإجتماعية والإقتصادية .

§  أنـواع التأميـن
يمكن تصنيف أنواع التأمين من حيث الجهة التي تتولى عملياته إلى نوعين هما : التأمين الحكومي، والتأمين الخاص . ومن أمثلة التأمين الحكومي: التأمين على المحاصيل الزراعية ، التأمين ضد البطالة ، تأمينات العجز والوفاة والشيخوخة ...الخ.

أما التأمين الخاص فهو التأمين الذي تزاوله هيئات خاصـة مثل :
أ. التأمين الذاتي ، حيث تستطيع مؤسسة كبيرة وممتدة التأمين الذاتي على السيارات المملوكة لها مثلاً من غير الحاجة إلى التأمين عند طرف آخر .
ب. التأمين التبادلي أو التعاوني. حيث يتم تجميع الأخطار وتوزيع المخاطر أو توزيع الخسائـر بين المشتركين بطرق متعددة.
ج. التأمين التجاري الذي تزاوله هيئة متخصصة بغرض تحقيق الربح لملاكها .


§  التأميـن التجـاري
وهو نظام تقدم خدمة التأمين من خلاله بغرض تحقيق ربح للمنظم (مالك الشركة ) والذي هو جهة مستقلة عن المستأمنين  حيث يدفع المستأمن مبلغاً من المال للمؤمن ( شركة التأمين) على أن يتحمل ذلك المؤمن تعويض الضرر الذي يصيب المستأمن بحسب ما اتفقا عليه0 فإذا لم يتعرض المستأمن للضرر المؤمن ضده في عقد التأمين أصبح المبلغ المدفوع حقاً لشركة التأمين ولا شئ للمستأمن. ومن الجلي أن عقد التأمين التجاري هو عقد من عقود المعاوضات أي تلك العقود التي يدفع أحد الأطراف فيها ثمناً نقدياً لسلعة أو خدمة.

§  الرأي الشرعـي في التأميـن التجـاري
التأمين التجاري من المعاملات المستجدة التي لم يعرفها المسلمون إلا في العصر الحديث . وقد تناوله فقهاء الشريعة الإسلامية بالبحث والدراسة في الندوات والمؤتمرات والبحوث . والرأي الفقهي السائد حول التأمين التجاري هو عدم الجواز وذلك لأسباب متعددة أهمها اشتمال عقد التأمين التجاري على الغرر وعمل شركات التأمين التجاري على الربا . ومع أن الفقهاء الذين افتوا بعدم جواز التأمين قد بنوا فتواهم على سبب واحد أو أكثر من هذه الأسباب آنفة الذكر إلاّ أن الأمر الذي اتفق عليه جميعهم هو اشتمال عقد التأمين على الغرر ،وقد نهى الرسول r عن بيوع الغرر واتفق الفقهاء على أن الغرر الكثير مفسد لعقود المعاوضات . والغرر هو عدم التأكد بشأن أحد عوضي العقد أو كليهما ، ويعرفه الفقهاء بما يلي : " ماشك في حصوله أحد عوضيه " أو الخطر الذي استوى فيه طرفا الوجود والعدم " . والغرر الموجود في عقد التأمين هو أن نتائج العقد ليست متيقنة الحصول لطرفيه . فقد يدفع المستأمن القسط ولا يأخذ مقابله شيئاً ، وربما دفع قسطاً قليلاً ثم قامت شركة التأمين بتعويضه بأكثر كثيراً  من المبلغ الذي دفعه.
 ومع أن الغرر اليسير ربما يتجاوز عنه للحاجة وللضرورة إلا أن رأي جملة الفقهاء أن الغرر الذي ينطوي عليه عقد التأمين هو غرر مفسد للعقد وذلك لتوافر الشروط التي تجعله مؤثراً ومفسداً  وهي الحالات التي يكون فيها الغرر:
أ‌. موجوداً في عقد من عقود المعاوضات المالية؛
ب. أن يكون كثيراً؛
ج. أن يكون في المعقود عليه أصالة؛
د. أن لا تدعو الحاجة إليه ، أو تدعو إليه مع وجود بديل شرعي له.   
وبناءً على ذلك اتجه أكثر الفقهاء المعاصرين إلى حرمة عقد التأمين التجاري ، وقد ظهر ذلك في المؤتمرات والندوات التي قامت بدراسة عقد التأمين التجاري والتي أفتت بعدم جوازه  نذكر منهـا:

o       المؤتمر العالمي الأول للاقتصاد الإسلامي بمكة المكرمة - 21-26 صفر 1396هـ / 21-26 فبراير 1976م

o       مجلس هيئة كبار العلماء العلماء بالمملكة العربية السعودية، القرار رقم 55 بتاريخ 4/4/1397هـ .

o       مجلس المجمع الفقهي برابطة العالم الإسلامي - الدورة الأولــى شعبان 1398هـ -بمكة المكرمة.

o       مجمع الفقه الإسلامي بجدة في دورته الثانية 1406هـ.

§  البديـل: التأمين التعاونـي 
يلحظ أن الفتاوي السابقة حول التأمين التجاري والتي أجمعت على منعه اقترحت البديل الشرعي له ، ألا وهو نظام التأمين التعاوني . والفكرة الأساسية في هذا النموذج هي أن يقوم المشتركون فيه بدفع مبلغ من المال مكونين بذلك وعاءً مالياً يعان منه من تعرض لمكروه فأحتاج إلى المعونة من المشتركين حسب النظام المتفق عليه. وكل مشترك هو في الأصل متبرع بإشتراكه لمن يحتاج له من سائر المشتركين حسب الطريقة التي يتفق عليها المشتركون ، وسواء أكان هذا النوع من التأمين في صورة تأمين بحري أو تجاري أو تأمين الحوادث أو الأضرار.
ý   نموذج التأمين التعاوني
يقوم التطبيق العملي لفكرة التأمين التعاوني المقر بجوازه على التصور التالــي :
اشتراك جهات مختلفة بغرض التعاون على تخفيف أو إزالة الآثار المالية المترتبة على خطر أو عن مجموعة مخاطر محددة ومتفق عليها فيما بينهم .
تقوم كل جهة بدفع قسط من المال محسوب بحيث تغطي مجموع الأقساط المدفوعة التعويضات المتوقعة والمحسوبة على أساس اكتواري في ضوء نظرية الإحتمالات وقانون الأعداد الكبيرة.
 يقوم التصور أعلاه على إفتراض أن الوعاء التأميني يساوي التعويضات المدفوعة للمشتركين نتيجة تعرضهم للخطر المؤمن ضده . ولكن إفتراض تساوي قيمة أقساط المشتركين (الوعاء التأميني) للتعويضات المدفوعة قد لا يكون واقعياً في الحياة العملية لاسيما في السنوات الأولى من حياة هذه المؤسسات. 
  إذن هنالك إحتمالان آخران وهما :
1.     زيادة الوعاء التأميني في نهاية الفترة المالية عن التعويضات المدفوعة .
2.     نقص في الوعاء التأميني في نهاية الفترة المالية نتيجة مطالبة المشتركين بتعويضات اكثر من أقساطهم المدفوعة .
أ. الزيادة في الوعاء التأميني  :
بإفتراض أن الحسابات الاكتوارية كانت دقيقة وانما نتجت الزيادة في الوعاء التأميني لأن عدد الإصابات الفعلية في المدة المحددة كانت أقل من المتوقع (والحسابات الاكتوارية تحتمل ذلك طالما أن قانون الإحتمالات والأعداد الكبيرة لا يعملان إلاّ بتوافر شروط معينة منها العدد الكبير والمدة الممتدة ).
   فيقترح في هذه الحالة نقل الزيادة المالية المتحققة إلى السنوات القادمة ، ليتم إستخدامها في تعويضات مستقبلية وإن يتم تحفيز المدير منها.

ب. النقص في الوعاء التأميني :
حيث إن فكرة التأمين التعاوني تقوم على التبرع والتعاون على إزالة آثار الخطر المؤمن ضده،  فإن مسؤولية جبر هذا النقص من الناحية النظرية تقع على المستأمنين أنفسهم . ولكن حيث إنه قد يصعب عملياً الرجوع على المستأمنين بهذا النقص ومطالبتهم بدفعه ، لذا فإن حل هذه الإشكالية يعتمد علـى :
v  توخي الدقة في حساب القسط التأميني ،والتحرز لمثل هذا الإحتمال بإضافة مبلغ إحتياطي لتغطية هذا النقص " ولا يخفى أثر ذلك على زيادة تكلفة التأمين " .
v  إعادة التأمين لدى إحدى شركات إعادة التأمين العاملة ، بغرض المساعدة في تحمل المخاطر . وهنالك من الفتاوي ما أجاز إعادة التأمين لدى الشركات التقليدية للضرورة والحاجة .

ý   الفوارق الأساسيـة بين نظام التأميـن التعاوني والتجاري :
يختلف نظام التأمين التعاوني عن التأمين التجاري في جوانب متعددة . وأهم هذه الإختلافات يمكن تصنيفها في التالــي :

أ. طبيعـة العقـد :
 العلاقة التي تربط أطراف عقد التأمين التعاوني علاقة تبرع وتعاون ولذلك فهو من عقود التبرعات ، فالمبلغ الذي يدفعه المشترك يكون متبرعاً به للمجموعة . لذلك جاز مع وجود الغرر فيه.
 أما العلاقة بين الأطراف في عقد التأمين التجاري فهي تقوم على المعاوضة، لذلك فهو من عقود المعاوضات . فيكون ما يدفعه المستأمن مقابل التعويض الذي يجب أن تدفعه له شركة التأمين في حالة وقوع الخطر المؤمن ضده والذي ربما يقع فيحصل على التعويض وربما لا يقع فلا يحصل على شئ . ومن هنا كان منشأ الغرر ، ولكنه مفسد للعقد لأنه من عقود المعاوضات كما سبق ذكره .


ب. الجهة المنظمـة :
يقوم المستأمنون في عقد التأمين التعاوني أو من ينوبهم بإدارة وتنظيم التأمين . وتتجه الأموال المتجمعة لتعويض المشتركين في حالة تضررهم وعلاقتهم بالجهة التي تديره ليست علاقة معاوضة، أما التأمين التجاري فإن الجهة التي تنظمه تكون مستقلة عن المستأمنين تربطها بهم علاقة معاوضة.

ج. هدف الجهة المنظمـة :
يهدف المنظمون للتأمين التعاوني بصورة أساسية إلى تخفيف أو إزالة الضرر المالي الذي يصيب أي واحد منهم . إما في التأمين التجاري فإن هدف المنظمين الأساس هو تحقيق الربح من إدارة وتنظيم التأمين .
لذلك فإن المبالغ المتجمعة في التأمين التعاوني من اشتراكات المستأمنين بعد استنزال التكاليف والتعويضات الفعلية تعود للمستأمنين أنفسهم:  في شكل توزيعات نقدية أو تقليل للأقساط المستقبلية أو أن تكوّن منها احتياطيات لمقابلة تعويضات مستقبلية . وفي حالة الخسارة عندما تكون التعويضات المطلوبة أكثر من الاشتراكات المتجمعة فيمكن مطالبة المشتركين بمقدار نصيبهم لجبر الفرق (هذا الاقتراح وإن بدا مقبولاً من الناحية النظرية قد لا يسهل تطبيقه عملياً ؛ بالإضافة إلى ما قد يترتب عليه من تداعيات مثل عزوف العملاء عن التأمين التعاوني).

   أما في التأمين التجاري فإن فوائض إشتراكات المستأمنين تكون من نصيب شركات التأمين وملاكها دون المستأمنين . وكذلك يتحملون الخسارة في حالة زيادة التعويضات عن مجموع مبالغ الإشتراكات .
   وتجدر الإشارة إلى أن إحتمال الخسارة في أعمال التأمين ، لا سيما لدى الشركات ذات الخبرة ، شبه منتف وذلك بالنظر إلى قانون الأعداد الكبيرة والحسابات الاكتوارية القائمة على نظرية الإحتمالات والتي تجعل مبالغ الإشتراكات في الغالب مساوية أو أكثر من مجموع التعويضات .

§  إعـادة التأميـن
يتوقف نجاح نظام التأمين وإزدهار صناعته بصورة أساسية على وجود شركات إعادة التأمين وذلك لتقوم شركات التأمين بإعادة التأمين لديها بغرض تحويل مخاطرها أو جزء منها إلى شركات إعادة التأمين وذلك بواسطة عقد ونظير قسط مالي متفق عليه . لذلك لابد من العمل على إنشاء شركات إعادة تأمين على أسس تتوافق مع الشريعة الإسلامية ، وتبنى نفس المنهج والأسلوب المتبع في التأمين التعاوني الذي يقوم على التبرع .
§  التأمين التعاوني
وعلى ذلك فإن التأمين التعاوني  يقوم على الأسس التالية: 
v    وجود مدير " جهاز أو هيئة " تتولى إدارة وتنظيم التأمين.
v    يقوم المدير بإستثمار الأموال " الوعاء التأميني " بطرق متوافقة مع الأحكام الشرعية.
وعلى ذلك يمكن تلخيص المعالم الرئيسة للنموذج المقترح كالتالـي :
1. المستأمنـون :
مجموعة مختلفة من الأشخاص الطبيعيين أو المعنويين يهدفون إلى التعاون فيما بينهم لإزالة الأضرار المالية التي يتعرضون لها . ويدفع كل منهم قسطاً متبرعاً به ليساهم في رفع أو تخفيف الضرر الذي يصيب أحد أفراد المجموعة بما فيهم شخصه . والسمات المميزة للمستأمنين أنهم:
v    متعاونون.
v    يتبرعون بما يدفعون من أقساط .
v    يواجهون أخطار متشابهة ويرغبون إجتنابها .
2. الوعاء التأميني :
هو وعاء مالي له شخصية معنوية مستقلة عن المستأمنين وهو يتألف من مجموع الأقساط التي يقوم المستامنون بدفعها على أساس عقد التبرع ، لذا لا يعد المستأمنون ملاكاً لهذا الوعاء لأن الأقساط التي يتبرعون بها تخرج من ملكيتهم بمجرد التبرع بها إلى ملكية  الوعاء .غير أن أولئك الذين يتعرضون للخطر مستحقون للتعويض من الوعاء بالقدر الذي يجبر الضرر المالي الذي أصابهم.
3. المديــر :
جهاز أو هيئة متخصصة في صناعة التأمين يعينها المستأمنون لإدارة التأمين وتشمل أعباؤها:
-   حساب القسط التأميني بالطرق الفنية والاكتوارية بحيث تغطي الأقساط المجموعة من المستأمنين التعويضات التي تدفع للمشتركين من جراء الإصابات.
-       القيام بعمليات إعادة التأمين.
-       تحصيل الأقساط من المشتركين في مواعيدها.
-       التحقق من الإصابات بغرض دفع التعويضات للمتضررين .
-       استثمار " الوعاء التأميني " بطرق متوافقة مع الأحكام الشرعية، وبصورة تحقق دائماً توافر سيولة لمقابلة التعويضات المطلوبة في أي وقت خلال فترة التأمين.
-       إصدار حسابات ختامية مراجعة تبين الوضع المالي لمؤسسة التأمين التعاوني ومن ذلك حجم الوعاء التأميني والأرباح الناتجة عن استثماره ومجموع التعويضات المدفوعة والمصروفات والتكاليف الأخرى.
·        تكاليف ومصروفات المدير : 
تتحمل مؤسسات التأمين جميع التكاليف التي تتطلبها إدارة أعمال التأمين والمتمثلة في حساب القسط وجمعه من المشتركين وإستثماره بالكيفية المثلى . ويمكن أن تحمل هذه التكاليف على مبلغ القسط نفسه فيصبح بذلك مشتملاً –كما هو الحال في الممارسة التقليدية – على المبالغ التاليـــة :
v    الصافي لمقابلة وتعويض الخسائر الناتجة عن الخطر المؤمن ضده؛
v    التكاليف والمصروفات الفعلية لإدارة عملية التأمين ؛
v    احتياطي لمقابلة الطوارئ في حالة حدوث خسائر أكثر من المتوقع.
v    إدارة الوعاء :
أ‌.   الدخول في عقود إعادة تأمين مع شركات مختلفة بغرض ضمانها لدفع التعويض إلى المستأمنين مقابل أقساط إعادة تأمين يحسبها ويحدد قيمتها المدير بالتنسيق مع شركات إعادة التأمين.
ب‌.   استثمار الأموال في الوعاء التأميني وما  يتحقق من ربح يصب في الوعاء التأميني.
ج. التحقق من حالات الضرر وتعويض المتضررين من المستأمنين.

مكافـأة (أجر) المديـر :
يقترح أن تتم مكافأة المدير عن طريق:
- أجر مقطوع ويمكن أن يحسب هذا الأجر ضمن القسط التأميني الذي يدفعه المستأمن كما سبق ذكره.
- حافز للمدير يحسب كنسبة مئوية من الفائض التأميني إذا تحقق . أو أن يكون هذا الحافز بصيغة:
" ما زاد عن كذا من الفائض التأميني يدفع للمدير ( شركة التأمين) " . وبهذا يتحقق لشركات التأمين الاستفادة من الفائض ، والعمل على إدارة التأمين التعاوني بشكل فعال وبكفاءة عالية . وهذه الصيغة مستخدمة في عقد المضاربة حيث يجوز أن يحفز المضارب في حالة تحقيق ربح معين في المضاربة. وقد نص معيار المضاربة الصادر عن هيئة المحاسبة والمراجعة للمؤسسات المالية الإسلامية على ذلك، وأشار إلى جواز اتفاق طرفي العقد في المضاربة على اختصاص احد طرفي المضاربة بالربح الزائد عن نسبة معينة يتفقان عليها.


§  ملخـص
تقوم الفكرة على تحديد أجر مقطوع لمدير الوعاء المالي للتأمين التعاوني ، مع تحفيزه بمنحه نسبة من الفائض التأميني، فإذا زاد الوعاء المالي عن كذا فعلاً يذهب هذا المبلغ إلي المدير تحفيزا  له. وذلك لان التأمين التعاوني يقوم على تبرع مجموعة من المستأمنين بقسط تأمين لتعويض من يصاب بالضرر المؤمن ضده. وفي حالة زيادة الأقساط المجمعة في الوعاء المالي بعد تسديد التعويضات يعتبر المبلغ المتبقي فائضاًَ ووجود هذا الفائض يعود بشكل رئيس إلي كفاءة المدير في حساب القسط التأميني وإدارة التأمين واستثمار أمواله.





والله ولي التوفيق وهو الهادي إلى سواء السبيل






د. التجاني عبد القادر أحمد
خبير اقتصادي ومالي















المراجــع :

ý     ابن رشد ، بداية المجتهد ونهاية المقتصد، دار الفكر، بيروت، لبنان، 1419هـ-1998م.

ý  الصديق محمد الأمين الضرير: " التعريف بنظام التأمين الإسلامي " سمنار تطبيق نظام التأمين الإسلامي، الخرطوم، 29-30 شوال هـ 21-22 أبريل 1992م.

ý     مصطفى أحمد الزرقاء: نظام التأمين: حقيقته- والرأي الشرعي فيه، بيروت:مؤسسة الرسالة،1984م ص196.

ý  د.محمد نجاة الله صديقي: التأمين في الاقتصاد الإسلامي، جدة: مركز أبحاث الإقتصاد الإسلامي، جامعة الملك عبد العزيز،1978م ص105. 

ý  مجموعة البركة:فتاوي المضاربة، إدارة التطوير والبحث،جمع وفهرسة وتصنيف د. أحمد محي الدين أحمد، جدة ، المملكة العربية السعودية.

ý     هيئة المحاسبة والمراجعة للمؤسسات المالية الإسلامية: معيار المضاربة.

ý The new encyclopedia Britannica, volume 9, insurance pp 545-58.
      W. Benton 1943-73,H.H Benton 1973-74
       Chicago / London / Toronto / Geneva.










بسم الله الرحمن الرحيم
الهيئة العليا للرقابة الشرعية
للجهــاز المصـرفي والمؤسســات المـــالية
 

الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على سيدنا محمد خاتم النبيين،
وعلى سائر الأنبياء والمرسلين

الأخ الفاضل الدكتور/ التجاني عبدالقادر احمد
                             عضو الهيئة

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته....
                                     
تسـلمت خطابكم الكريم رقم وص أ/ص ح/1/7 المؤرخ 19/1/2006، ومعه مذكرة حول: مكافأة " أجر" مديري التأمين التعاوني، وأبعث إلى سيادتكم بردي على الخطاب، وتعليقي على المذكرة.
تقول في أول خطابكم: بالإشارة إلي موضوع تحديد مكافأة " أجر" مديري التأمين التعاوني الذي تمت مناقشته في لقاء الهيئة بتأريخ 18 ذو الحجة 1426هـ (19/1/2006).

أقول: هذا الموضوع جاء الحديث عنه عرضاً بعد سؤال من الدكتور أحمد علي عبدالله، الأمين العام للهيئة العليا، ولم يكن موضوعاً في جدول الأعمال، ولم تتم مناقشته، ووعد الدكتور التجاني بتقديم ورقة عنه.
1.    أوافق على ما جاء في البند (1).
2.    جاء في البند (2):
  تدير التأمين " الوعاء المالي" جهات متخصصة بهدف: وذكر في البند ستة أهداف. وهذا سليم، ولكني أوجه للدكتور التجاني السؤال التالي:
ما هي هذه الجهات؟ هل هي المشتركون؟ أم المساهمون، أم مجلس الإدارة، أم المدير وأعوانه؟
3.    أوافق على ما جاء في هذا البند من وجوب تحديد أجر بالنسبة للتأمين التعاوني، وبالنسبة لأي عمل مماثل، فهذا مما لا خلاف فيه.
4.    يقترح الدكتور التجاني في هذا البند الكيفية التي تحدد بها مكافأة " أجر " الجهة التي تقوم بإدارة التأمين، ويلحظ أنه تحدث في البند (3) عن " أجر" فقط، وذكر في هذا البند (4): مكافأة " أجر " والمكافأة غير الأجر، فأيهما يريد الدكتور التجاني؟

اقترح الدكتور التجاني لتحديد مكافأة " أجر " للجهة التي تقوم بإدارة التأمين التعاوني الآتي:
1.    أجر مقطوع ويمكن أن يحسب هذا الأجر ضمن القسط التأميني الذي يدفعه المستأمن. أوافق على هذا.
2.    حافز للمدير يحسب كنسبة مئوية من الفائض إذا تحقق، أو أن يكون هذا الحافز بصيغة: مازاد عن كذا من الفائض التأميني يدفع للمدير " شركة التأمين". ويلحظ أن الدكتور التجاني فسر المدير هنا بشركة التأمين.

    لا أوافق على إعطـاء شركة التأمين " المساهمين" أي مبلغ من الفائض للسبب الذي ذكره الدكتور التجاني في مذكرته تحت عنوان: الفوارق الأساسية بين نظام التأمين التعاوني والتجـاري – الفارق (ج) ص9. وهذا الفارق هو أن الفائض في التأمين التعاوني كله حق للمستأمنين، أما الفائض في التأمين التجاري فكله حق للمساهمين، وهذا من الفوارق الأساسية بين التأمين التجاري والتأمين التعاوني، كما قال الدكتور التجاني، وعلى الرغم من هذا فإن الدكتور التجاني يريد لشركات التأمين الاستفادة من الفائض لكي تدير التأمين التعاوني بشكل فعال وبكفاءة عالية، ويقيس الدكتور التجاني عمل شركة التأمين في إدارة التأمين التعاوني على عمل المضارب في إدارة مال المضاربة حيث يقول:" وهذه الصيغة مستخدمة في عقد المضاربة حيث يجوز أن يحفز المضارب في  حالة تحقق ربح معين في المضاربة..." وهذا قياس مع الفارق، والفارق هو أن المضاربة عقد معاوضة، والتأمين التعاوني عقد تبرع، والمضارب في عقد المضاربة لعمله أثر كبير في تعظيم الربح، وتعظيم الربح مطلوب لرب المال وللمضارب معاً، أما المطلوب في شركة التأمين التعاوني فليس هو تعظيم الفائض، وإنما هو تجنب العجز بقدر الإمكان، والمدير الناجح في شركة التأمين التعاوني هو الذي يستطيع أن يدير الشركة من غير أن يكون فيها عجز أو فائض.
فلا وجه مطلقاً لقياس مدير التأمين التعاوني على المضارب، ويمكن أن يقاس مدير التأمين التجاري على المضارب.



الصديق محمد الأمين الضرير
رئيس الهيئة العليا للرقابة الشرعية
6 محرم 1427 هـ
7/2/2006م



مرفق:
التعليق على المذكرة.

انتقل بعد هذا إلي التعليق على المذكرة :
1/ عنوان المذكرة:
مكافأة " أجر " مديري التأمين التعاوني.
العنوان غير دقيق، لأن المكافأة غير الأجر فلا يدري القارئ هل يتحدث الدكتور التجاني عن مكافأة المديرين أم عن أجر المديرين.
2/ تقديم:
     خمسة الأسطر الأولى في الصفحة (23) صحيحة، ولكن ينبغي أن يضاف إليها بعد " كثر " عملاً بمذهب المالكية، لأن هذا هو رأي المالكية، أما الأئمة الثلاثة فالغرر يؤثر عندهم على التبرعات ايضاً. انظر كتاب الغرر وأثره في العقود ص 525 وما بعدها.
      يقول الباحث في ص 23 س 9 من الموضوعات المهمة المتعلقة بالتأمين التعاوني تحديد أجر الشركات التي تدير أعمال التأمين ويقول في س 18: وتحديد أجر أو مكافأة الشركات.
وفي السطر 21 يعبر بنظام يحدد أجر مديري التأمين التعاوني، وفي السطر 22 يتحدث عن وسائل تحدد في ضوئها معايير وطرق هذه المكافأة والأجر.
وفي هذا خلط بين الأجر والمكافأة، وخلط بين من يستحق هذا الأجر أو المكافأة، هل هي الشركة أو مديرو التأمين التعاوني، ومن الذي يستحق الأجر في الشركة، هل هم أعضاء مجلس الإدارة فقط، أم جميع المساهمين، أم مدير الشركة وأعوانه؟
يقول الدكتور التجاني في أول صفحة (24):
ويقترح تحديد أجر مدير التأمين التعاوني ليكون أجراً مقطوعاً أو نسبة محددة مع منحه حافزاً إضافياً عن حسن إدارته للتأمين من فائض التأمين، ويمكن أن يأخذ هذا الحافز صيغة إذا زاد الفائض التأميني عن حد كذا فهو للمدير، والفتوى عليه في المضاربة. أهـ

أقول: هذا خطأ فاحش، لأن تحديد أجر لمدير التأمين التعاوني أياً كان لابد منه، ولكن ليس من الفائض، وإنما من الأقساط، ولا وجه لقياس مدير التأمين على المضارب الذي لا يستحق إلا من الربح انظر أول ص 3 من الرد على الخطاب.

3/ فكرة التأمين: ص24س4-14 مقبول.

4/ تعريف التأمين ص24س15-23:
التعريف مضطرب يخلط بين تعريف التأمين باعتباره نظاماً، وتعريف التأمين باعتباره عقداً، ولم يبين هل هذا تعريف للتأمين التجاري أم للتأمين التعاوني.
5/ الأركان التي يقوم عليها نظام التأمين ص24س23إلىص26س5:
تحدث د. التجاني في هذه الصفحات عن الخطر وقانون الأعداد الكبيرة، والأهمية الاقتصادية لتجنب الخطر أو تخفيف آثاره، وذكر في أثناء حديثه عن قانون الأعداد الكبيرة أن هذا القانون كان معروفاً لدى فقهاء المسلمين، واستشهد برأي الإمام مالك في بيع لبن الغنم، ولا تخلو هذه الدعوى من مبالغة، انظر لأي الإمام مالك في بيع لبن المتعددة، وبيع لبن الواحدة في كتاب الغرر 272-275.
6/ أنواع التأمين:ص27:
تحدث الدكتور التجاني تحت هذا العنوان عن التأمين التجاري فقرر أنه عقد من عقود المعاوضات، وتحدث عن الرأي الشرعي فيه وهو عدم الجواز، وقال: إن الأمر الذي اتفق عليه جميعهم هو اشتمال عقد التأمين علي الغرر.
أقول: خالف الأستاذ الزرقا في هذا، انظر رأيه وردي عليه في كتاب الغرر 646 وما بعدها.

يقول د. التجاني: ويعرفه (الغرر) الفقهاء بما يلي:
" ما شك في حصول أحد عوضيه" ص 27س26
أقول: عرف الفقهاء الغرر تعريفات كثيرة مختلفة هذا أحدها، وهو غير جامع – انظر كتاب الغرر 47-54.
يقول د. التجاني ومع أن الغرر اليسير ربما يتجاوز عنه للحاجة وللضرورة ص 28س4
أقول: الغرر اليسير يتجاوز عنه مطلقاً، لأنه يسير، والحاجة سبب للتجاوز عن الغرر ولو كان كثيراً، وهذا واضح من الشروط التي ذكرها د. التجاني بعد عبارته مباشرة. ولا محل للضرورة في التأمين.
قال د. التجاني بعد هذا: وبناءً على ذلك اتجه أكثر الفقهاء من المعاصرين إلى حرمة التأمين التجاري، وقد ظهر ذلك في المؤتمرات والندوات التي قامت بدراسة التأمين التجاري، والتي أفتت بعدم جوازه، واقترح التأمين التعاوني بديلاً له.
أقول: هذا صحيح، ولكن الدكتور التجاني أهمل الإشارة إلي أول مؤتمر بُحث فيه موضوع التأمين وهو أسبوع الفقه الإسلامي ومهرجان الإمام بن تيمية الذي أقيم بدمشق 1380هـ - 1961م، وشاركتُ فيه ببحث بينت فيه حرمة التأمين التجاري لوجود الغرر، واقترحت التأمين التعاوني بديلاً له على النحو الذي ذكره الدكتور التجاني في ص 28 انظر كتاب أسبوع الفقه الإسلامي ومهرجان الإمام ابن تميمة ص464، ثم طُبق هذا الاقتراح عملياً بقيام شركة التأمين الإسلامية 1979م أول شركة تأمين إسلامية في العالم. طبقته هيئة الرقابة الشرعية لبنك فيصل الإسلامي السوداني التي أتشرف برئاستها.
7/ نموذج التأمين التعاوني ص 29و30:
ما جاء تحت هذا العنوان مقبول ماعدا اقتراح الدكتور التجاني في أخره ص 8س7 بتحفيز المدير من الفائض – وماعدا قوله " وهنالك من الفتاوى ما أجاز إعادة التأمين لدى الشركات التقليدية للضرورة والحاجة ص7س16 فلا داعي فيه لكلمة للضرورة، ويكتفي بكلمة " للحاجة". 
8/ الفوارق الأساسية بين نظام التأمين التعاوني والتجاري ص30:
أقول: ما جاء تحت هذا العنوان مقبول كله، ويستحسن أن تضاف عبارة : " عملاً بمذهب المالكية" في أ- طبيعة العقد ص8 بعد عبارة : مع وجود الغرر فيه.
ويظهر بوضح مما كتبه الدكتور التجاني عن الفارق ج – هدف الجهة المنظمة : أن الفائض كله حق لحملة الوثائق، ولا يستحق المساهمون في الشركات السودانية منه شيئاً.
9/ إعادة التأمين ص 31:
أقول: كله مقبول.
10/ التأمين التعاوني ص31:
كتب الدكتور التجاني تحت هذا العنوان:
وعلى ذلك فإن التأمين التعاوني يقوم على الأسس التالية:
v    وجود مدير " جهاز أو هيئة تتولي إدارة التأمين.
v    يقوم المدير باستثمار الأموال " الوعاء التأميني بطرق متوافقة مع الأحكام الشرعية".
وعلى ذلك يمكن تلخيص المعالم الرئيسة للنموذج المقترح كالآتي:
أقول: هذا كلام مبهم جاء في غير محله، فإلى أي شيئ تشير ذلك الأولي؟ وإلى أي شىء تشير ذلك الثانية ؟ والذي فهمته من العبارة الأخيرة أن الدكتور التجاني يريد أن يلخص لنا المعالم الرئيسة للنموذج الذي يفترضه للتأمين التعاوني فتحدث عن:
1.    المستأمنون: والحديث عنهم مقبول.
2.    الوعاء التأميني:
يقرر الدكتور أن هذا الوعاء التأميني له شخصية معنوية .... الخ.
أقول: الشخصية المعنوية هي الشركة والأقساط لا تخرج كلها من ملك المستأمنين، وإنما يخرج من ملكهم ما تحتاج إليه الشركة.
3.    المدير:
عرف الدكتور التجاني المدير بأنه جهاز أو هيئة متخصصة في صناعة التأمين يعينها المستأمنون لإدارة التأمين وتشمل ( أعبائها) هكذا:
وذكر ستة أعباء:
أقول هذه الأعباء يقوم بها الموظفون في الشركة: المدير ومعاونوه، فهل هذا هو المقصود بالمدير عند الدكتور التجاني أم المقصود جهة أخرى لم يفصح عنها.
4.    تكاليف ومصروفات المدير:
كل ما ذكره الدكتور التجاني تحت هذا العنوان وغيره من التكاليف تدفع من الاشتراكات، ولم أفهم ما كتبه الدكتور التجاني.
5.    مكافأة " أجر " المدير:
هذا العنوان هو العقدة في مذكرة د. التجاني من هو المدير؟ وهل يعطى مكافأة أم أجراً؟
يكرر الدكتور التجاني هنا ما قدمه في الخطاب وما جاء في أول المذكرة.
6.    ملخص:
يظهر لي مما تقدم ومن هذا الملخص أن الدكتور التجاني يقصد بالمدير في شركة التأمين التعاوني الشركة المساهمة التي تتولى إدارة التأمين كما هو الوضع القائم الآن بالسودان، وأنه يريد أن يعطي الأجر والمكافأة للشركة، أي للمساهمين.

إذا صح هذا الفهم فإني أقول للدكتور التجاني إذا كنت تريد أن تعطي من المساهمين من يقوم بعمل على عمله فهذا جائز، لأن الأجير يستحق أجراً على قدر عمله، وهذا الأجر يدفع من الإقساط، وليس من الفائض.
أما إذا كنت تريد أن تعطي أجراً لجميع المساهمين نظير أسهمهم فهذا لا يجوز لأن هذا أجر على المال، والأجر علي المال هو الربا.

خاتمة:
إن النظام القائم الآن في السودان " شركات مساهمة تدير تأميناً تعاونياً إسلامياً " ليس هو النظام الأمثل للتأمين التعاوني الإسلامي، وإنما هو نظام فرضه قانون الشركات لسنة 1925م، والنظام الأمثل هو قيام " شركات تأمين تعاوني إسلامي " يديرها المستأمنون أنفسهم، ولا تحتاج إلى مساهمين ولا إلى رأس مال. وإنما يدفع رأس مالها التأسيسي المؤسسون للشركة من المستأمنين على سبيل القرض يستردونه من الفائض.
وهذا النظام يحتاج إلى إضافة مادة في قانون الشركات لسنة 1925 تسمح بإنشاء شركات تعاونية من هذا القبيل.
أرجو أن يعمل المسئولون على تحقيقه.




الصديق محمد الأمين الضرير
رئيس الهيئة
6 محرم1427هـ
7/2/2006م











P
الهيئة العليا للرقابة الشرعية للجهاز المصرفي
والمؤسسات المالية



سماحة الشيخ البروفيسور/ الصديق محمد الأمين الضرير  ،، ،،  حفظه الله
                         رئيس الهيئة 

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته،،، ،،،

  أشير إلى خطابكم الكريم بتأريخ7/2/2006م، وتعليقكم المفيد حول الموضوع: مكافأة "أجر" مديري التأمين التعاوني. واشكر لسماحتكم تفضلكم بقراءة الموضوع وإعداد رد علمي دقيق عليه. ولا أخفيكم سروري بذلك واستفادتي الكبيرة منه. وحرصاً مني وتأكيداً على أهمية الموضوع فأود الإفادة بالتالي:

أولاً: الجهات التي تدير التأمين
إجابة عن استفساركم؛ ما هي الجهات المتخصصة التي تدير التأمين التعاوني؟ فقد ورد في المذكرة أن هذه الجهات قد تكون:
أ‌.      المستأمنون أنفسهم أو من يوكلوه؛
ب‌.  جهاز أو هيئة؛
ج. شركة.

ثانيـاً: مكافأة "أجر" مديري التأمين التعاوني
تم استخدام مكافأة واجر بمعنى واحد. وقد ظهر ذلك في عنوان المذكرة حيث ذكرت كلمة أجر بين هلالتين. ولا مشاحة في المصطلح. فقد ينص على الأجر بحيث يشتمل على العنصرين جميعاً(المبلغ المقطوع + الحافز) في العقد الذي يوقع بين المستأمنين والمدير.

ثالثــاً: الفـائض
أقر تماماً بأن الفائض في التأمين التعاوني هو من حق المستأمنين. واقتراحي هو أن يدفع المستأمنون، برضى منهم، جزءاً من هذا الفائض إلى المدير. واستشهادي بالمضاربة ينصب حول التراضي، فإذا جاز لرب المال أن يمنح ربحاً اضافياً للمضارب، كذلك لعله يجوز للمستأمنين أن يتبرعوا أو أن يمنحوا المدير أجراً اضافياً من مالهم الذي يملكونه، وهو "الفائض". وهذا من باب جواز تصرف المالك في ملكه، بما لا يتعارض مع الأحكام الشرعية.

رابعاً: هدف الإدارة في التأمين التعاوني
أوافق سماحة الشيخ على أن المطلوب في التأمين التعاوني: "هو تجنب العجز بقدر الامكان"، ومما يساعد على ذلك إعادة التأمين، ولكن الواقع العملي يؤيد وجود فائض، فلا مانع من منح المدير جزء منه، طالما أن ذلك يؤدي إلى التنافس بين الشركات التي تدير التأمين التعاوني، مما قد يتناقص معه أجر المدير المحسوب ضمن القسط التأميني.

خامساً: الوعاء التأمينـي
يمكن النظر إليه على أنه منفصل عن المستأمنين، والمال المدفوع فيه والخارج من المستأمن هو ملك الوعاء. وكون المستأمن يستحق التعويض منه حال وقوع الخطر المأمن ضده عليه، يؤكد النظر إليه كجهة مستقلة ذات شخصية اعتبارية، حيث إن المستأمن قد يعوض بأكثر مما دفع.


سادســاً: الأجر على المال  
هذه العبارة قد يفهم منها أن سماحة الشيخ لا يرى قيام شركات مساهمة لإدارة التأمين التعاوني. وبهذا فإن فضيلة الشيخ لا يرى منح أجر للمساهمين في الشركات التي تدير التأمين التعاوني، دعك من تحفيزهم من الفائض. وبمفهوم المخالفة فإنه لا يرى بأساً من دفع جزء من الفائض للمدير الذي يدير التأمين التعاوني فرداً كان أو هيئة.

    إن التطبيق العملي يفيد بأن الشركات التي تدير التأمين التعاوني في السودان، هي شركات مساهمة، وبهذا فإن المساهمين لا يستحقون أجراً إلاّ إذا قاموا بالإدارة بأنفسهم، وهذا غير متصور. فيبقى السؤال هو لماذا يساهم أي شخص في شركات إدارة التأمين التعاوني إذا لم نجز له استحقاق ربح عن استثماره؟ وقد تكون الإجابة: يمكن تحقيق ربح من استثمار ما تبقى من رأسمال الشركة النقدي في مجالات أخرى. وهذه الإجابة قد تكون مناسبة في الحالات التي يبقى فيها مال نقدي من رأس المال، علماً بان رأس المال قد يتحول كله إلى أعيان في شركات إدارة التأمين التعاوني. هذا بجانب أن الغرض الرئيس للمساهم هو الاستثمار في هذا المجال- فلماذا يطلب منه استثمار ماله في نشاط آخر؟.

سابعــاً: خاتمـــة
يمكن أن تتولى إدارة التأمين التعاوني الجهات التالية:
أ‌.      شخصٌ أو مجموعة من الأشخاص؛ ولا مانع من أن يأخذوا أجراً مقطوعاً، وكذلك يمكن أن يمنحوا جزءاً من الفائض إذا وافق المستأمنون على ذلك.
ب‌.  هيئة أو جهاز متخصص؛ لا مانع كذلك من استحقاقهم الأجر أو الفائض كما ورد (أ) أعلاه طالما يشترك الكل في الإدارة.

ج. المستأمنون، حيث يقوم المستأمنون في التأمين التعاوني بإدارته بأنفسهم.
د. شركة مساهمة عامة؛ لا يجوز الأجر أو الفائض إلا لمن يعمل بشكل مباشر في إدارة التأمين التعاوني باعتبار أن الأجر الذي يأخذه المساهم الذي لا يقدم عملاً، أجر على المال. وهذا الحكم يمنع الاسترباح من عمليات إدارة التأمين التعاوني وهي خدمة من الخدمات، علماً بأنه يجوز الاسترباح والمساهمة في شركات تعمل في مجال الخدمات، ولا يعد الربح الذي يأخذه المساهم فيها ربا.

هذا وحيث إن الموضوع الأساس هو مدى استحقاق المدير في التأمين التعاوني، بحسب شكله القانوني وما يؤدي من عمل، للأجر أو الفائض فأرجو أن تصبح هذه الخيارات الأربعة والتي تلخص هذا الموقف، مرتكزاً للنقاش المقترح في اجتماع الهيئة المخصص لدراسة الموضوع.

هذا وبالله التوفيق،، وهو الهادي إلى سواء السبيل

د. التجاني عبد القادر أحمد
                                                                                                       عضو الهيئـــــة
                                                              27/2/2006م
      


بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على سيدنا محمد خاتم النبيين،
وعلى سائر الأنبياء والمرسلين

الأخ الفاضل الدكتور/ التجاني عبدالقادر أحمد
                         عضو الهيئة

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته....

أشير إلي الإفادة التي بعثتم بها إلي في خطابكم المؤرخ 27/2/2006 م بخصوص تعليقي على موضوع:
مكافأة "أجر" مديري التامين التعاوني
    أشكر للدكتور التجاني ثناءه على ردي، وان كان لم يقتنع به، فأرسل إلي بالإفادة التي أبعث إليه بتعليقي عليها:
أولا : الجهات التي تدير التأمين:
      لم تجب على استفساري؛ لأني سألتك عن تعيين الجهة، وليس الجهات التي تتحدث عنها في بحثك، وتريد منها أن تدير التأمين في نظامنا القائم، فأجبت بأن " هذه الجهات قد تكون " وذكرت ثلاث جهات ، وهذه مجرد افتراضات، فما هي الجهة التي تريدها أن تدير التأمين القائم عندنا الآن والذي نتحدث عنه ؟
ثانياً : مكافأة "أجر" مديري التأمين التعاوني:
      قولك " تم استخدام مكافأة وأجر بمعنى واحد" خطأ فاحش، فالأجر غير المكافأة لغة وشرعاً وقانوناً، واستعمالها بمعنى واحد هو اصطلاحك أنت وحدك، فلا اعتبار له وقولك" لا مشاحة في المصطلح" – الصواب الاصطلاح – هو فيما اصطلح عليه جماعة من الناس، لا فيما اصطلح عليه الدكتور التجاني وحده.
ثالثاً: الفائض
      الفائض ليس ملكاً للمستأمنين يتصرفون فيه كما يشاءون، لان القسط خرج عن ملكهم بالتبرع به، ودخل في ملك الشركة فلا يستطيع المستأمنون أن يدفعوا من فائضه شيئاً إلي المدير، وإذا صفيت الشركة لا يعود الفائض إليهم، وإنما يتصدق به كما نص عليه في القانون.
      وأما استشهادك بالمضاربة فقد بينت لك خطأه في تعليقي السابق فارجع إليه.
رابعاً: هدف الإدارة في التأمين التعاوني:
      أوافقك على أن " الواقع العملي يؤيد وجود فائض"، وأضيف أنه مطلوب لمقابلة ما قد يحدث من عجز، ولكني لا أوافقك علي إعطائه للمدير، لأن المدير يأخذ أجره من الأقساط، ولا يجوز أن يقيد الأجر بالفائض؛ لان الأجر يجب أن يكون معلوماً، والفائض مجهول وجوده، ويمكن أن يعطى المدير الممتاز مكافأة من الأقساط، وليس من الفائض.
      لم أفهم قولك: " مما قد يتناقص معه أجر المدير المحسوب ضمن القسط التأميني" في آخر الفقرة.
خامساً: الوعاء التأميني :
      ما كتبه الدكتور التجاني تحت هذا العنوان ينقض قوله " إن الفائض ملك للمستأمنين يمكنهم أن يتبرعوا منه للمدير" فليتأمل.
سادساً: الأجر علي المال :
1.    خمسة الأسطر الأولى من هذا العنوان فيها فهم خاطئ لكلام فضيلة الشيخ، لان فضيلة الشيخ يرى دفع أجر للمساهمين الذين يقدمون عملاً على عملهم من الأقساط، وليس من الفائض، أما الذين لا يقدمون عملاً من المساهمين فلا يستحقون أجراً على مالهم، لا من الأقساط ولا من الفائض؛ لان الأجر على المال هو الربا.
2.    قولك أن الشركات التي تدير التأمين التعاوني في السودان هي شركات مساهمة قول سليم، وأما قولك: " وبهذا فإن المساهمين لا يستحقون أجراً إلا إذا قاموا بالإدارة بأنفسهم وهو غير متصور " غير صحيح، وهو متصور، وهو الحاصل في الشركات في السودان، فالمساهمون يختارون من بينهم عدداً هو مجلس الإدارة، ومجلس الإدارة يقوم بعمل يستحق عليه أجراً، ومن عمله اختيار " المدير" وتعيينه.
3.    واجتماع المساهمين في الجمعية العمومية عمل يستحقون عليه أجراً ولكنهم لا يستحقون أجراً على أسهمهم لأن السهم مال والأجر على المال ربا .
4.    قدم الدكتور سؤالاً مقبولاً يستحق الإجابة، ولكنه أجاب عنه جواباً مشوشاً. سأجيبه عن سؤاله، ثم أنظر في جوابه المشوش.
      شركات التأمين التعاوني لا تحتاج إلي رأس مال، وهذه حقيقة عالمية، والسودان ليس فيه شركات تأمين تعاونية، وإنما فيه شركات مساهمة تدير تأميناً تعاونياً إسلامياً، وهذا أمر فرضته الاستجابة لقانون الشركات لسنة 1925 م عندما أراد بنك فيصل إنشاء شركة تأمين تعاوني إسلامية فلم يسمح قانون الشركات لسنة 1925 بذلك، ورأى القائمون على بنك فيصل، بتوجيه من هيئة رقابته الشرعية ، أن يستجيبوا لأمر القانون فأوجدوا شركة مساهمة من بنك فيصل والمحافظ، ودفعوا رأس مالها لتدير التأمين التعاوني الإسلامي واسترد المساهمون رأس مالهم كاملاً من فائض الاشتراكات ، يتصرفون فيه كما يشاءون. وكان  الدافع الأساسي علي هذا العمل هو امتثال أمر الشرع بتجنب التأمين التجاري المحرم الذي كان قائماً آنذاك.
وأما جواب دكتور التجاني المشوش فهو مبني:

أولا: علي افتراض خاطئ هو أن رأس المال يتحول إلي أعيان لمصلحة التأمين، فلا يبقى منه شئ يستثمر ، وهذا غير وارد إطلاقاً، فرأس المال لا يأخذ منه التأمين ديناراً واحداً إلا على سبيل القرض برضا المساهمين، فإذا تحول إلي أعيان فإن هذه الأعيان ملك للمساهمين وحدهم.

وثانياً: على أن " الغرض الرئيسي للمساهم هو الاستثمار في هذا المجال" كما يقول الدكتور التجاني وهذا خلط بين التأمين التجاري والتأمين التعاوني، ما كنت احسب الدكتور التجاني يقع فيه، فالتأمين في الشريعة الإسلامية ليس محلاً للاستثمار، ولهذا منع التأمين التجاري، وأجيز التأمين التعاوني الذي لا استثمار فيه للتأمين، وللشركة المساهمة أن تستثمر رأس مالها في جميع المجالات المشروعة الأخرى.

سابعاً: خاتمة:
      اقترح الدكتور التجاني في الخاتمة أربعة خيارات يطلب من الهيئة أن تجعلها مرتكزاً للنقاش في الاجتماع، وأقول له : اقتراحك مرفوض لسببين:

الأول : إن هذا الموضوع صدرت فيه فتوى سابقة من الهيئة، فلا يجوز بحثه إلا إذا قررت الهيئة             إعادة النظر في فتواها السابقة.  
 

الثاني: لا يجوز النظر في تغيير نظام قائم ومعمول به لأكثر من ربع قرن إلا إذا تبين فساده،
وهذا ما لم يفعله الدكتور التجاني، وهو يطلب من الهيئة النظر في اقتراحاته وكأن الأمر معروض للبحث لأول مرة.   

والله الموفق والهادي إلي الصواب

                                    
                                                                                                                                                             الصديق محمد الأمين الضرير
                                                                                                                                                                   رئيس الهيئة
                                                                                                                                                                    5 صفر 1427 هـ
                                                                        5 مارس 2006 م



يوقع العميل والبنك على عقد ايجار العقار الذي سيتم تسليمه في تاريخ لاحق. يقدم هذا المنتج إلى العملاء الراغبين بشراء منازل قيد الإنشاء. يتولى بنك دبي الإسلامي دفع كافة المبالغ المستحقة مباشرة إلى مقاول المشروع وفق الجدول الموضوع خلال فترة الإنشاء.
عند إنشاء مشروع البناء، يخضع هذا المنتج لقوانين عقد الاجارة، ويبدأ العميل بتسديد الأقساط للبنك بعد استلام العقار.
المزايا:
  • إمكانية التمويل لغاية 95% من قيمة العقار.
  • أعلى سقف تمويل
  • مدة تمويل مرنة تصل لغاية 25 سنة
  • لا يحتاج إلى تحويل الراتب
  • يبدأ تسديد الأقساط بعد إستكمال بناء العقار فقط.
  • يتوفر لدينا برنامج تأمين إسلامي
  • معدلات ربح تنافسية





؟ صكوك الإجارة: هي صكوك تمثل ملكية حصص متساوية في عقار مؤجر أو في منفعة عقار، تعطي صاحبها حق التملك والحصول علي الأجرة والتصرف في ملكه بما لا يضر بحقوق المستأجر، أي أنها قابلة للبيع التداول ويتحمل حامل الصك ما يترتب علي المالك من تبعات تتعلق بالعقار كالصيانة والهلاك (التلف).

؟ صكوك السلم أو الاستصناع: صكوك السلم هي صكوك تمثل بيع سلعة مؤجلة التسليم بثمن معجل، والسلعة المؤجلة التسليم هي من قبيل الديون العينية، لأنها موصوفة تثبت في الذمة. وصكوك الاستصناع مثل صكوك السلم، إلا أنه يجوز تأجيل ثمنها، والمبيع في الحالتين لا يزال في ذمة الصانع أو البائع بالسلم، لذلك تعتبر هذه الصكوك غير قابلة للبيع أو التداول في حالة إصدار الصك من قبل أحد الطرفين البائع أو المشتري، فهي من قبيل الاستثمارات المحتفظ بها حتي تاريخ استحقاقها.


التأجير المنتهي بالتمليك،وصفه وحكمه الشرعي
اختلفت وجهات نظر العلماء الكرام في الحكم الشرعي لهذه المعاملة التي انتشر العمل بها اليوم،والناس في أمس الحاجة لبيان حكمها الشرعي،وهو ما لن يتأتى على نحو صحيح ما لم يتم توصيف المعاملة،وتصويرها الصورة المطابقة لما هي عليه في الواقع،ومن ثم تعطى الحكم الشرعي الذي يطابق ما هي عليه،وليس الخطأ في إطلاق الأحكام الشرعية يجيء - في الغالب - من الأدلة بل من تناول الدليل من حيث انطباقه على الحالة التي نبحث الحكم لها ،وهنا سأعمد إلى توصيف المعاملة ومن ثم تطبيق الأدلة الشرعية عليها ليتضح إن كانت مما أحل الشرع أو حرم،كما أتعرض خلال ذلك لأهم الملاحظ الشرعية على ما سأذكره،بإذنه تعالى.
أولا:توصيف تلك المعاملة:
يذهب المرء إلى شركة أو نحو ذلك لشراء سيارة أو غيرها وليس عنده مال يكفي للشراء،أو عنده ولكنه يفضل وجود السيولة بيده،فهو يريد تلك السلعة بالتقسيط،فيجد البائع قد عانى كثيرا من التقسيط،نظرا لكثرة من قصر بل أبى أن يسدد ما عليه،حتى صارت الأموال على الناس عدة ملايين لا يجد حيلة لردها وليس يجد تحت يده من الضمانات ما يفي بالحق أو حتى بشيء منه،فوجد بديلا يمكن من خلاله الرجوع ولو بشيء من الحق،وهي طريقة تأجير تلك السيارة أو المنزل أو نحو ذلك مدة معينة على أنه إن انتهى خلالها من بلوغ مبلغ متفق عليه سابقا يصبح من حقه تملك تلك السيارة،إن رغب في ذلك وعليه عندها أن يدفع مبلغا ماليا لنقل ملكية السيارة أو نحوها له،أو كما هو في بعض الحالات ليس يطلب منه دفع شيء في نهاية تلك المدة.
هذه هي صورة تلك المعاملة،وينص العقد المبرم على أمور أهمها
1-
التأجير متضمنا ما جرت عليه عادة الناس في عقد الإجارة بل أفضل في كثير من الحالات،إذ تكون قيمة الإيجار أقل في العادة من قيمة الإيجار في عقود ليس فيها النص على تمليك في المستقبل.
2-
ويتضمن العقد النص كذلك على استحقاق ذلك المستأجر بعد نهاية مدة التأجير لتملك تلك السلعة،بشرط سداد جميع المبالغ المتفق عليها،وهو أمر ليس ملزما للمستأجر في حين هو ملزم لتلك الشركة أو نحوها،فللمستأجر الحق بتملكها إن أراد وله صرف النظر عنها.
ثانيا:الحكم الشرعي،المطابق للتوصيف السابق.
لقد أجاز الإسلام الإجارة لكل ما جاز بيعه مما لا تذهب عينه باستعماله،ولا تكاد تجد من يقول بغير هذا القول،من أهل العلم.
وهذا يقتضي جواز هذه المعاملة من حيث هي عقد تأجير،بصرف النظر عن الأمر الثاني وسآتي لذكره،وبيان إن كان له أثر على هذه الجزئية من العقد،إلا أنني أريد استيفاء الحديث عن هذا الشق من العقد قبل الخوض في الشق الآخر،لوجود بعض الملاحظ هنا.
منها قول القائل:يا أخي هذا الرجل الذي رغب في الحصول على تلك السلعة إنما جاء ليتملكها بطريقة البيع بالتقسيط،فحين لم يتح له ذلك الأمر لنظام فرضته تلك الشركة والمؤسسة استأجر تلك السلعة وهو إنما أراد تملكها،بل استأجر ونيته التملك لا الاستئجار،وأنت تعلم من خلال القاعدة المشهورة (العبرة للمقاصد والمعاني لا للألفاظ والمباني)،وحين تقول لي هذا استئجار أقول لك حسنا هو استئجار بالنسبة لك لا لي،فأنا إنما أردت التملك،ولك أن تعتبرها ما شئت.
ومن هنا ذهب بعض أهل العلم إلى بطلان المعاملة برمتها لأنها تقع على غير ما قصد طرفا البيع،فهما على وجه الحقيقة إنما يريدان البيع لا الإجارة،ولكن كل منهما لجأ لصيغة التأجير فرارا من شيء قد يضر به،فالشركة من أجل ضمان حقها،والمستأجر لأنه لم يتح له شراءها بالطريقة المعتادة في بيع التقسيط،فالنية على شيء والعقد تحدث عن شيء آخر.
هذا الأمر حمل بعض أهل العلم للقول ببطلان المعاملة،بناء على تلك القاعدة.
أقول القاعدة صحيحة إلا أنها لا تتعلق بموضوعنا أصلا،لأنها تتحدث عن قصد المتكلم حين يقول أمرا وهو يريد غيره،أو يعقد عقدا متضمنا شيئا وهو يريد آخر،فيصرح لدى مباشرة آثار ذلك العقد أو القول أنه لم يرد ما تناوله بقوله من حيث الصيغة ولم يرد ما تضمنه العقد الذي أبرم معه من مضامين،فعندها لدى الفصل بين طرفي المعاملة يقوم كل منهما فيحدد مراده الذي يصبح لازما ويعتبر بعد بيانه جزءا من الصيغة وملحقا بها،وإلا فللقضاء أن يقول قولته ضمن تفصيلات ليس هذا محل بيانها،على أن للقاعدة أيضا استثناءات في أمور كالعتق ونحوه،فهو مما لايسوغ قبول زعمه أنه لم يكن يقصد العتق لو تلفظ بقوله أنت حر لعبده،فهل العبرة هنا للفظ أو للقصد،بل لا يلتفت للقصد أصلا.
على كل ليس لهذه القاعدة دخل فيما نحن بصدد الحديث عنه،وذلك لأنهما وإن نويا أمرا مختلفا عن الصيغة،إلا أنهما لدى مباشرة آثار العقد باشراه وهما يعلمان أنها يباشران عقد تأجير،وهو واضح غاية الوضوح لدى كل منهما،وليس يأتي يوم يقول فيه أحدهما والله يا أخي الصيغة تأجير ولم أفهم أنه تأجير بمعنى التأجير،بل ظننت أن عبارة تأجير تعني بيع،بالله عليكم هل يقول ذلك أحد،ثم أليس هو مضحك لدى أدنى تأمل،ولذا صح يقينا أن القاعدة لا تتناول ما نحن بصدده،فكل منهما عقد مريدا للبيع ولكنه يفهم أنه حيل بينه وبين البيع بصيغة لا تحتمل البيع مما يجعله حال مباشرة العقد قاصدا للتأجير ولا يفهم من العقد سوى هذا،فلو قدرنا أن زاعما قال ياأخي بل أردت بصيغة التأجير البيع،نقول له هذا لا يقبل منك لعدم احتمال الخطأ في فهم عبارة تأجير.
والآن هل من ملاحظة أخرى على هذا الشق من العقد، الجواب نعم ،فهناك من ينتقد العقد لوجود احتمال سحب السلعة المستأجرة من تحت يد المستأجر حين يتأخر في سداد ما عليه،وياله من منظر مأساوي أن يخرج الرجل من بيته ليتجه إلى العمل ثم لا يجد السيارة أمام المنزل (هذا كمثل)،ليس لأنها مسروقة بل لأن شركة التأجير قد سحبتها،ويظل ساخطا ويقول والله لا يجوز التأجير المنتهي بالتمليك (هكذا يفتي ولعله لا يصلي و يقسم لصحة مذهبه)لأن الشركة أكلته مقلبا،وسحبت سيارتها(التي يظنها سيارته) دون إنذار.
طيب تصور أنك استأجرت سيارة من شركة تأجير لا تبيع السيارات أصلا فهي شركة تأجير من الألف إلى الياء،ثم أتت وسحبت السيارة نظرا لعدم سدادك المبالغ المترتبة هكذا لعدة أيام،هل ستغضب،أو تطنش،وخليهم ياكلوا هواء،والله ما يشوفوا مني قرشا!
أخي أنا أتحدث عن واقع وليس عن خيال،وتصور لو كنت أنت صاحب الشركة،هل ستفعل فعله؟
قد تقول يا أخي أغراضي الشخصية وأوراقي و..و.. ،فأقول لك يداك أوكتا وفوك نفخ،ماذا تصنع لك الشركة إذا تأخرت عن السداد عدة أشهر هل تسلم على رأسك لتعطيها حقها،ثم الرسول صلى الله عليه وسلم يقول المسلمون على شروطهم،وبالفعل هم يخبرونك أن السيارة سوف تسحب إن لم يتم السداد،والواقع أنهم لا يفعلون ذلك إلا بعد عدد من التحذيرات،ولكنك لا تبالي،وهو من حقهم،وهو مما لا أثر له في صحة العقد من هذه الحيثية،ولا أظن طالب علم يحكم ببطلان هذه المعاملة من هذه الحيثية.
بقي أن من الذوق وحسن التعامل ألا تعمد الشركة لهذا الأمر سوى كحل أخير مع التأكيد على العميل بل الاشتراط عليه ألا يدع شيئا مهماً في السيارة وإلا فهم غير مسؤولين عنه لو سحبت،وعلى الشركة التأكيد أيضا للمستأجر بهذه الطريقة أن سيارته سوف تسحب في غضون مثلا ثلاثة أشهر لعدم السداد،هذا من الذوق ومما يقلل الخصومة،وهو ما أنصح الشركات لاشتراطه على المتعاملين معها بهذه الطريقة،
والآن هل من ملاحظ أخرى على العقد في شقه الأول.
الجواب كلا،فلا أتصور وجود ملاحظ سوى ما ذكرت،والآن أعمد لبيان ما يتعلق بالشق الثاني للعقد من الوجهة الشرعية،وبيان مدى تأثيره على العقد بكامله من حيث الصحة والجواز.
الشق الثاني،أو الجزئية الأخرى التي هي محل نظر من العلماء بارك الله عليهم.
والسؤال هل الانتهاء بالتمليك المذكور في العقد لدى تلك الشركات جاء بصيغة شرط،أو بصيغة عقد كامل معلق بشرط.
وفي الواقع لا سبيل لقول ثالث،فهو إما من قبيل الشرط،أو من قبيل العقد المعلق بشرط،ولدى التأمل نجده من قبيل العقد الموعود به أو المعلق بشرط،لأن الشروط بذاتها داخلة في صلب العقد ولها أثرها فيه بدءا من توقيعه،وهو ما لا نراه هنا فلا يسوغ اعتبار ذلك الشق من قبيل الشروط لهذا السبب وهو أنها مما لا أثر له في بدء العمل بالعقد،ولو اعتبرناه من قبيل الشروط لاحتجنا لدراسة مدى صحته ومدى ما له من أثر في صحة العقد،وهو ما أجدني في غنى عن بحثه هنا.
بقي أن الشق المذكور آنفا يعتبر عقدا معلقا على شرط،أي موعود به،وهو وإن دخل في صلب بنود تلك العقود إلا أنه من قبيل التعليق لا التنجيز،فهنا لدينا عقد إجارة،ووعد بالبيع معلق بشرط،في العقد ذاته.
وهل لهذا أي أثر في العقد برمته؟
أخي لكي تتضح الصورة أقول:
لو استأجرت سيارة أو دارا بألف ريال شهريا،ووقعت عقد الإجارة وليس في النية تملك تلك السلعة،ويقيت تسدد الإيجار لعدة أشهر،هل يقول أحد بعدم صحة هذا العقد،ثم بدا لك أن تشتري تلك السيارة أو الدار بعد تلك المدة فذهبت إلى صاحب الدار وقلت له أريد أن اشتري دارك أو سيارتك ولكن ليس لدي من المال ما يكفي الآن،وأرغب إليك أن تعدني بألا تبيعها حتى أؤمن لك قيمة السيارة مثلا،وهي عشرة آلاف ريال بعد سنة،والتزم لك بذلك خطيا،وقال لك يا أخي أعدك بذلك وألتزم لك به،وليس ذلك ملزما لك،والأمر إليك عند حلول الأجل المتفق عليه،فإن شئت اشتريت أو تركت.
هل هذا يصح عند أهل العلم؟
نعم،وهذا وعد بالبيع وليس مع من أبطله من أهل العلم دليل (وهي مسألة الوعد بالبيع المشهورة عند أهل العلم)ودليل صحتها ما ثبت من الأحاديث مما يوجب الوفاء بالوعود كقوله صلى الله عليه وسلم(آية المنافق ثلاث ..وذكر إذا وعد أخلف)المهم أن القضاء يوجبه عند الاختلاف وهو المعمول به الآن في معظم محاكم الدنيا،فأكثر العقود من العقود الموعود بها خصوصا على المستوى الصناعي وقطاع الخدمات،فأنت تستقدم ألف عامل بعقد موعود به غير منجز ولا يبدأ أثره إلا في وقت لاحق،فهل يوجد اليوم من لا يلزم به من أهل العلم(هذا قضاء)،فحين يصح العقد الموعود به ويلزم العمل به عند حلول الأجل المتفق عليه في هذه الصورة الأخرى،فما المانع الشرعي أن يصح العمل به حين نضم الورقتين معا،أعني في المثال السابق عقد التأجير،المنجز،وعقد البيع الموعود به،فنحن لم نزد أن جمعنا بين العقدين المنجز وهو الإجارة والموعود به وهو البيع في ورقة واحدة،وحين لا يصح ذلك ويصح في ورقتين منفصلتين هذا ما لا نفهمه.
قد يقال بل هو عين ما ثبت نهي الرسول  نهى عن بيعتين في بيعة ،وكذا ما جاء عن ابنe عنه من حديث أبي هريرة قال إن النبي e مسعود في النهي عن صفقتين في صفقة،وهو وإن كان الأصح وقفه إلا أنه بمعنى الذي قبله ،فما هو الجواب عن ذلك،وإذا لم يكن جواب صحيح فلا ريب عندها للقول بعدم صحة هذا العقد برمته،لأنه من باب بيعتين في بيعة.
والجواب جد يسير ذلك أنني ولدى جمعي للصور التي ذكرها العلماء في شرح هذا الحديث لم أجد منها صورة التأجير أصلا فكل ما يذكرونه صور تتعلق بالبيع وليس للإجارة ذكر،بل لقد ذكر ابن القيم في حاشيته على سنن أبي داوود بعد ذكر بعض صور البيعتين في بيعة نفاها جميعا وضعف انطباق النص عليها وجعل الصورة الوحيدة التي ينطبق عليها النهي هي ما عرف ببيع العينة ونح هنا ليس منه في ورد أو صدر،وإليك قول ابن القيم القيم،قال في الحاشية ج: 9 ص: 247:"وللعلماء في تفسيره(أقول:بل هناك خمسة تفاسير أخرى) قولان،أحدهما أن يقول:بعتك بعشرة نقدا، أو عشرين نسيئة،وهذا هو الذي رواه أحمد عن سماك ففسره في حديث ابن مسعود قال نهى رسول الله عن صفقتين في صفقة قال سماك الرجل يبيع الرجل فيقول هو علي نساء بكذا وبنقد بكذا،وهذا التفسير ضعيف؛فإنه لا يدخل الربا في هذه الصورة،ولا صفقتين هنا،وإنما هي صفقة واحدة بأحد الثمنين،والتفسير الثاني أن يقول:أبيعكها بمائة إلى سنة،على أن أشتريها منك بثمانين حالة،وهذا معنى الحديث الذي لا معنى له غيره وهو مطابق لقوله فله أوكسهما أو الربا؛فإنه إما أن يأخذ الثمن الزائد فيربي أو الثمن الأول فيكون هو أوكسهما وهو مطابق لصفقتين في صفقة فإنه قد جمع صفقتي النقد والنسيئة في صفقة واحدة ومبيع واحد وهو قصد بيع دراهم عاجلة بدراهم مؤجلة أكثر منها ولا يستحق إلا رأس ماله وهو أوكس الصفقتين فإن أبي إلا الأكثر كان قد أخذ الربا،فتدبر مطابقة هذا التفسير لألفاظه وانطباقه عليها،ومما يشهد لهذا التفسير ما رواه الإمام أحمد عن ابن عمر عن النبي أنه نهى عن بيعتين في بيعة وعن سلف وبيع،فجمعه بين هذين العقدين في النهي لأن كلا منهما يؤول إلى الربا لأنهما في الظاهر بيع وفي الحقيقة ربا"ولي مع قوله رحمه الله تعالى عدة وقفات إلا أن المقصود هنا واضح.
وعلى كل ليس ضروريا أن تكون الصورة التي ينطبق عليها النص مما ذكره علماؤنا،لأننا نعلم أن شرعنا لكل زمان ومكان  عنه فنحرمها حتى ولو لم نجد قائلا بها من العلماءeفلعل صورة حادثة توافق ما نهى  باعتبارها نازلة،وهذه من أهم ميزات التشريع الإسلامي، وليس من مانع لتحريم هذه الصورة والقول ببطلان هذا العقد لو قدر أنها مما يتناوله الحديث السابق بالنهي،إلا أن دون ذلك أمور،منها أن النهي يتعلق بصفقتين معا وبيعتين معا أحداهما ينشأ أثرها مع الأخرى،ولا يقال بيع أو صفقة من حيث الاستعمال اللغوي إلا على ما أنجز،فكل بيع موعود به لا يسمى بيعا على سبيل الإطلاق،بل لا بد من إضافته إلى المستقبل،والقول ذاته يقال عن الصفقة،فليست تطلق العبارة إلا على ما كان ناجزا،وحين تكون معلقة فإنها تضاف إلى ما علقت به،فهنا لدينا عقد التأجير،أو صفقة الإجارة،وهي منجزة،وصفقة البيع الموعود به وهي غير منجزة،فكيف يصح تناول الحديث وانطباقه على الصورة المذكورة،وهما أمران أحدهما منجز والآخر ليس كذلك،هذا ما لا يصح ولا يجوز لغة أو شرعا،لأن النهي عن بيعتين لا عن بيع أو صفقة منجزة وأخرى معلقة،وحيث لا يتناول النص تلك الصورة ولا ينطبق عليها فليس مما حرم الإسلام أو نهى عنه الشرع،وقد قال تعالى:" وقد فصل لكم ما حرم عليكم إلا ما اضطررتم إليه"،ثم الأصل في هذا الباب الجواز،وليس مع من جعل الأصل المنع دليل يصلح للاحتجاج به لما ذهبوا إليه،قال الشوكاني في السيل الجرار( ج: 4 ص: 108):"أخرج الدارقطني من حديث أبي ثعلبة رفعه إن الله فرض فرائض فلا تضيعوها وحد حدودا فلا تعتدوها وسكت عن أشياء رحمة بكم غير نسيان فلا تبحثوا عنها،وقد ثبت في الصحيحين وغيرهما من حديث سعد بن أبي وقاص أن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم قال إن أعظم المسلمين في المسلمين جرما من سأل عن شيء لم يحرم؛فحرم من أجل مسألته،وفي الصحيحين أيضا من حديث أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال ذروني ما تركتكم فإنما هلك من كان قبلكم بكثرة سؤالهم واختلافهم على أنبيائهم فإذا نهيتكم عن شيء فاجتنبوه وإذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم وفي الباب أحاديث شاهدة لثبوت أصالة الحل في كل شيء ما لم ينقل عنه ناقل تقوم به الحجة"،ولذا لا مساغ للقول بتحريم مثل هذه المعاملة،أو ببطلانها.
وهل بقي شيء؟
نعم بقي أمر الصيغة التي أزعم أنها أهم سبب جعل الكثيرين يذهبون إلى تحريم هذه المعاملة،ويظنونها من قبيل الصفقتين في صفقة،وهو صحيح لأول وهلة،ذلك أن عبارة التأجير المنتهي بالتمليك،توحي كما لو كان التأجير والتمليك ناجزين،وهو ما ليس منصوصا عليه في العقد،بل مجرد تسمية للعقد بغير اسمه،لأن الواقع أنه عقد تأجير منتهي تماما لتبدأ معاملة جديدة هي ما سبق الوعد به من طرف واحد (وهو الشركة) حيث سوف يتأمل المشتري أمره،إن أراد الشراء وإلا فلا،فهو كما لو جاء للتو وليس مما تربطه بتلك السلعة أية صلة ليشريها بناء على وعد من البائع معلق بهذا الوقت،وهو ملتزم بإبراز السلعة للمشتري ليرى رأيه،فإن أعجبته أخذها وإلا فلا،ولذا لو جعلنا اسم العقد التأجير مع الوعد بالبيع لسلم العقد من الطعون التي وجهت إليه ولوجدنا الغالبية لا تتحرج من القول بجواز مثل هذه المعاملة،وسيقال هو تأجير مع الوعد بالبيع.
فأنا أنصح الشركات لتغيير اسم العقد ولا بأس لو بقي ما سوى ذلك على حاله ليصبح اسم العقد التأجير مع الوعد بالبيع(وهو ما يعبر عن الواقع).
وهل بقي شيء؟
نعم
إنه الغرر،حيث قد تقرر سلفا ثمن السلعة التي لا يدرى ما الحالة التي ستكون عليها عند حلول الأجل الموعود به،فهي إن كانت بحالة جيدة فلعل الثمن المقرر لا يكون مناسبا للشركة،وإن كان غير ذلك لن يكون الثمن مناسبا للمشتري،فما أثر هذا على العقد؟
أقول ليس له أثر باعتبار الشركة ملزمة بالبيع لذلك الرجل بعينه،عند حلول الأجل ولكنها ليست ملزمة بالبيع مع الإجحاف بحقها،مثل أي معاملة لا صلة لها بموضوعنا،كأن يأتي رجل ليشتري سلعة بثمن اتفق عليه مع البائع وتم توقيع العقد على هذا الأساس ثم علم البائع أنه غبن فهو بخير النظرين إما أن يأخذ ما نقص من الثمن أو الفسخ،مثل تلقي الركبان،والعكس صحيح لو كان المشتري هو المغبون،فإن تراضيا على ذلك وإلا رجعا إلى القضاء،وقد ترى الشركة أنها في حل من وعدها لسبب من الأسباب،أقول لا ليست في حل والقضاء يلزمها،فليس لها أن تقول لن أبيع لك وسأبيع لغيرك بعد وعدها للرجل،بيد أنها في حل لو أحلها المستأجر من وعدها.
وعلى كل ما ذكرته هنا نظري بحت،لأن معظم الشركات من خلال الخبرة علمت عدة أمور :
الأول:أن هذا العقد يناسبه أن تكون مسؤولية الضمان والصيانة عليها خلال مدة العقد،كاملة حتى تبقى تلك السلعة سليمة إلى أفضل حد ممكن.
ثانيا:رأوا التأمين على السيارة أيضا لهذا السبب.
ثالثا:غالبا ما يوضع ثمن الشراء بأقل بكثير من ثمن السوق لا لأن الشركة قد غرر بها بل لأنها ترى أن من حق ذلك المستأجر أن ينال ميزة على غيره،أما حين يرى المشتري أنه المغبون وهو قليل فله أن يصرف النظر عن السلعة،ولا حرج عليه.
هل بقي شيء؟
نعم،إن طريقة البيع هذه أوجدت سبيلا شرعيا لضمان الحقوق ولجميع الأطراف،وهي قد أوجدت تيسيرا لا يحس به من لم يذق طعم الفقر أو الحاجة يوما نظرا لما تفضل عليه الله تعالى،وليس هينا القول بالتحريم(وهو هين جدا لو كان هو الصواب)إلا على من يجد ما يشتري به كل ما يريد هو وأبناؤه،ولكنه كالغل على آخرين لا تزيد دخولهم عن شيء لا يكفي غيرهم عدة أيام،ولا يجدون من يكفلهم ليشتروا بالتقسيط،ولا يجدون ما يستطيعون به الاستئجار بالطريقة المعتادة،لأن الاستئجار بها بفوق الاستئجار بالطريقة التي ندرسها كثيرا بما لا يقل عن نحو الضعف،فمثلا تستأجر السيارة بهذا النظام الذي ندرسه بنحو 33ريال يوميا،في حين لا يكاد يجد المرء سيارة يستأجرها في الحالة المعتادة لتأجير السيارات بنحو 70ريالا،انظر الفرق،وستقول مثل هذا الرجل قد لا يستطيع إتمام السداد،فالذي منه هربت الشركات وقعت فيه،أقول هذا صحيح ولكنهم يجدون سيارة بين أيديهم يرجعون منها ببعض حقهم،وهناك فائدة لا تكاد تقاس بثمن وهي أن ذلك المستأجر بهذه الطريقة التي ندرسها حين يعجز يقوم برد السيارة،وتبقى رقبته مرفوعة،وانظر الصورة في حالة ما إذا اشتراها بالتقسيط لعله يبيع السيارة لأنه محتاج،ثم يتصرف في ثمنها،لأنه محتاج،ثم يسجن لعدم قدرته على السداد لأنه محتاج،ولذا كان الأنسب له التأجير مع الوعد بالبيع.
وهل بقي شيء؟
لا
هذا أهم ما لدي والله ولي التوفيق.

كتبه
عدنان بن جمعان الزهراني - إمام جامع النهضة – جدة - 054686397

















































PEMBIAYAAN
IJARAH MUNTAHIYA BITAMLIK
by
KarimSyah
Law Firm
Level 11, Sudirman Square Office Tower B
Jl. Jend. Sudirman Kav. 45-46, Jakarta 12930, INDONESIA
Phone: +62 21 577-1177 (Hunting), Fax: +62 21 577-1947, 577-1587
E-mail : info@karimsyah.com

1
PEMBIAYAAN
IJARAH MUNTAHIYA BITAMLIK

                        Undang-undang No.10/1998 tentang Perbankan :

- pembiayaan berdasarkan prinsip syariah wajib dikembalikan disertai imbalan (prinsip ijarah) (pasal 1.12);
                        - prinsip syariah dalam pembiayaan barang modal dapat dilakukan dengan pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari Bank oleh Nasabah (pasal 1.13).


                        Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34/KEP/DIR
            12 Maret 1998 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah :


                        - Bank wajib menerapkan prinsip syariah dalam menyalurkan dana antara lain melalui transaksi jual beli berdasarkan prinsip ijarah (pasal 28).


                        Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 27/DSN-MUI/III/2002
            28 Maret 2002 :


                        - harus laksanakan akad ijarah dulu;
                        - akad pemindahan kepemilikan (jual beli/hibah) hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai.


                        Pernyataan Standard Akuntansi Keuangan (PSAK) No.59 :


                        - objek sewa dikeluarkan dari aktiva pemilik objek sewa pada saat terjadinya perpindahan hak milik objek sewa;
                        - perpindahan hak milik objek sewa diakui jika seluruh pembayaran sewa telah di selesaikan dan penyewa membeli/menerima hibah dari pemilik objek sewa.


                        Kesimpulan

* Dalam tataran syariah :

                        - Bank adalah pemilik aset selama masa sewa;
                        - Bank tetap menjadi pemilik aset setelah masa sewa berakhir, jika Nasabah tidak bersedia membuat akad pemindahan kepemilikan (dengan jual beli/hibah);
                        - Nasabah menjadi pemilik aset setelah

akad pemindahan kepemilikan ditanda tangani sesudah masa sewa berakhir.


2
* Dalam tataran hukum positif
Jual Beli :

                        - Sama seperti dalam financial lease, Nasabah membeli aset dari suplier dengan dana pembiayaan dari Bank dan aset langsung dicatatkan atas nama Nasabah (BPKB atau sertipikat tanah langsung atas nama Nasabah);
                        - aset kemudian dikonstruksikan sebagai milik Bank (karena dibeli dengan uang Bank) dan Bank menyewakannya kepada Nasabah.


                        Perjanjian IMBT :


                        - Prinsip syariah melarang 2 akad dalam 1 perjanjian. Dengan demikian, berbeda dengan perjanjian leasing, tidak diperkenankan mengatur akad ijarah dan akad jual beli/hibah dalam 1 perjanjian;
                        - Namun tidak ada larangan untuk mengatur 1 akad dan 1 wa’ad dalam 1 perjanjian;
                        - Dengan demikian di Perjanjian IMBT akadnya adalah ijarah dengan wa’ad jual beli/hibah yang akan ditanda tangani setelah ijarah berakhir (jika Nasabah menghendakinya). Oleh karena itu perlu dilampirkan konsep perjanjian jual beli/hibah;
                        - juga dilampirkan konsep kuasa kepada Bank untuk menjual aset jika pada akhir masa ijarah, Nasabah tidak ingin memiliki aset. Kuasa jual diperlukan karena aset sejak masa ijarah sudah dicatatkan atas nama Nasabah. Konsep kuasa jual ditandatangani setelah masa ijaroh berakhir.


                        Perpajakan :


                        - Nasabah langsung membeli barang modal dari suplier;
                        - dalam hal barang modal bukan tanah/ bangunan, Nasabah membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kepada suplier, yang menjadi WAPU (wajib pungut), yang menyetorkan PPN tersebut ke negara (kantor pajak);
                        - dalam hal barang modal berupa tanah/ bangunan, Nasabah membayar Bea



3

                        Balik Nama ke Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang wajib menyetorkannya ke negara (kantor pajak) dan penjual tanah/bangunan membayar Pajak Penghasilan final 5% ke negara (kantor pajak);
                        - ujroh yang dibayarkan oleh Nasabah kepada Bank tidak kena withholding tax pasal 23 UUPPh;
                        - Bank Syariah, sebagaimana Bank Konvensional, hanya membayar pajak atas segala keuntungan yang diterimanya berdasarkan tarif progresif secara bulanan (PPh pasal 25) dan tahunan (PPh pasal 29);
                        - Kesimpulan: dari segi beralihnya kepemilikan aset yang dibiayai, tidak ada resiko perpajakan apapun bagi Bank sebagai pemberi pembiayaan IMBT (lihat diagram).


                        Pembuktian Bank sebagai pem- beli/pemilik objek ijarah :


                        - Dalam tataran syariah, Bank dianggap pemilik dari barang yang disewakan;
                        - oleh karena itu menurut logika, Banklah yang membeli barang dari suplier. Untuk itu diawal Perjanjian IMBT harus ditentukan bahwa Bank memberi kuasa kepada Nasabah untuk membeli barang yang akan menjadi objek ijarah;
                        - namun demikian, hukum positif mengenai financial lease tidak pernah mengkonstruksikan bahwa lessorlah yang membeli barang dari suplier (BPKB langsung atas nama Nasabah);
                        - berdasarkan preseden tersebut, maka dalam pembiayaan IMBT seyogyanya hukum positif juga tidak perlu membuktikan bahwa Bank telah benar-benar menerima barang yang dibelinya (dengan kuasa kepada Nasabah) dari suplier;
                        - selain itu hukum positif berupa UU No. 10/1998 dan SK Dir BI No. 32/34/KEP/ DIR tanggal 12 Maret 1998, tidak mewajibkan Bank untuk menerima terlebih dahulu barang yang dibelinya



4

                        (dengan kuasa kepada Nasabah) sebelum menyewakannya kepada pembeli;
                        - preseden financial lease dan kedua peraturan perundang-undangan tersebut diatas merupakan lex specialis dari lex generalis yang menyatakan bahwa pihak yang menyewakan harus membuktikan bahwa dialah pemilik sah barang yang disewakan.


Iswahjudi A. Karim
KarimSyah Law Firm, Jakarta
September 2005

5Pembiayaan Take Over

Jumat, 25-05-2007
Assalamualaikum Wr, Wb.
Saya seorang nasabah sebuah bank konvensional. Sepuluh bulan yang lalu saya memohon kredit untuk pembelian sebuah rumah (KPR). Kredit tersebut harus saya angsur selama 36 bulan termasuk bunganya. Saya ingin menyelesaikan kredit saya tersebut, karena saya ingin terhindar dari sistem bunga. Masalahnya saya tidak memiliki kemampuan untuk melunasi kredit saya tersebut. Pertanyaan kami, apakah ada skim syariah yang dapat mengambil alih kredit saya tersebut?
Jamil, Tanjungmorawa

Jawaban:
Wa'alaikumsalam Wr,Wb. Pak Jamil di Tanjungmorawa.
Tindakan Bapak yang ingin berhenti dari kredit dengan sistem bunga merupakan kesadaran untuk meninggalkan sisa-sisa riba dalam aktivitas ekonomi. Tindakan Bapak tersebut adalah merupakan perintah Al-Qur'an dalam surah al-Baqarah ayat 278-279. Untuk tujuan tersebut salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan bank syariah adalah membantu masyarakat untuk mengalihkan transaksi nonsyariah yang telah berjalan menjadi transaksi yang sesuai dengan syariah. Skim yang sesuai dengan permasalahan Bapak adalah pembiayaan berdasarkan take over.
Pembiayaan berdasarkan take over adalah pembiayaan yang timbul sebagai akibat dari take over terhadap transaksi nonsyariah yang telah berjalan yang dilakukan oleh bank syariah atas permintaan nasabah. Pengambilalihan utang nasabah di bank konvensional dilakukan bank syariah dengan cara memberikan jasa hawalah atau qard, disesuaikan dengan ada atau tidaknya unsur bunga dalam utang nasabah kepada bank konvensional. Jika utang nasabah berbentuk utang pokok plus bunga, bank syariah memberikan jasa qard karena alokasi penggunaan qard tidak terbatas, termasuk menalangi utang berbasis bunga. Tetapi jika utang nasabah hanya berbentuk utang pokok, maka bank syariah memberikan jasa hawalah atau pengalihan utang karena hawalah tidak bisa untuk menalangi utang yang berbasis bunga. Untuk kasus Bapak, bank syariah akan memberikan jasa qard, karena utang Bapak adalah utang pokok plus bunga.
Proses pembiayaan ini adalah, pertama Bapak memohon kepada bank syariah untuk menalangi utang Bapak. Berdasarkan permintaan itu bank syariah menyelesaikan utang Bapak dengan jasa qard. Kemudian Bapak menyelesaikan utang Bapak ke bank konvensional. Setelah kewajiban Bapak ke bank konvensional dilunasi, sehingga aset rumah dari KPR Bapak itu secara penuh sudah menjadi milik Bapak. Selanjutnya, Bapak menjual aset rumah itu kepada bank syariah. Dari hasil penjualan aset itu Bapak dapat melunasi qard untuk pengalihan kredit KPR Bapak kepada bank syariah. Setelah itu, bank syariah menyewakan aset yang telah menjadi miliknya itu kepada Bapak dengan akad IMBT (ijarah mumtahia bi tamlik).
Akad IMBT adalah akad sewa-menyewa yang diakhiri dengan kepemilikan oleh nasabah. Akad ini merupakan kombinasi antara sewa-menyewa (ijarah) dan jual beli atau hibah di akhir masa sewa. Dalam akad IMBT, pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara. Pertama, pihak yang menyewakan (dalam hal ini bank syariah) berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa. Kedua, pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada masa akhir sewa. Wallahua'lam.

Samakah Pembiayaan Ijarah dengan Leasing?

Ijarah adalah salah satu prinsip syariah yang digunakan untuk memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah oleh bank syariah menurut UU no. 10/1998.  Secara fikih ijarah didefinisikan oleh Fatwa DSN MUI sebagai akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa / upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.

Perlu digaris bawahi bahwa ijarah sebagaimana yang didefinisikan oleh DSN MUI tersebut adalah prinsip syariah yang digunakan dalam pembiayaan, bukan akad atau perjanjian pembiayaan itu sendiri.  Bila ijarah secara fikih merupakan suatu akad sewa menyewa, maka dalam konteks UU no.10/ 1998 ijarah adalah suatu prinsip dalam penyediaan uang atau tagihan.

Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Prinsip Syariah itu antara lain pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina, istilah ini dipermakan dengan istilah ijarah mumtahiay bi tamlik).  Jadi, perjanjian pembiayaan ijarah dapat diartikan sebagai suatu perjanjian untuk membiayai kegiatan sewa menyewa., bukan kegiatan sewa menyewa itu sendiri.

Definisi pembiayaan yang digunakan dalam UU 10/1998 sebenarnya sangat mirip dengan definisi kredit menurut UU yang sama.  Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Beda kredit, pembiayaan, dengan leasing
Terdapat perbedaan antara kredit (yang diberikan oleh bank konvensional), pembiayaan (yang diberikan oleh bank syariah) dengan leasing (yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan).  Oleh karenanya ketentuan hukum tentang pinjam meminjam dalam buku ketiga KUH Perdata tidak berlaku terhadap leasing.  Demikian juga tidak berlaku untuk leasing segala ketentuan perbankan yang ada.

Kredit dan pembiayaan ijarah bertujuan menyediakan dana sementara leasing bertujuan menyewakan barang modal.  Kredit terfokus kepada uang, jadi kreditur bukan pemilik dari barang yang didanai. Pembiayaan ijarah pada dasarnya mempunyai definisi yang sama dengan kredit, bedanya pada prinsip syariah yang digunakan.  Perbedaan yang kedua adalah bank dapat memiliki atau tidak memiliki barang yang didanai.  Sedangkan pada leasing, paling tidak secara yuridis, lessor merupakan pemilik barang modal.

Jelaslah leasing tidak sama dengan pembiayaan ijarah.  Leasing tunduk pada Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan no.KEP122/MK, no.32/M/SK, no. 30/Kpb semuanya tahun 1974.  Yang dirinci dalam KMK no.649, Pengumuman Dirjen Moneter no.Peng-307;  untuk aspek perpajakan diatur dalam KMK no.650, semuanya tahun 1974.  Setelah berbagai aturan yang dikeluarkan di tahun 1974, ada beberapa peraturan lagi yang mengatur tentang leasing, termasuk untuk aspek perpajakan yang diatur dalam UU no.18/2000 dan PP 143 & PP 144 tahun 2000.Sedangkan pembiayaan ijarah tunduk pada UU no.10/1998, SK Dir BI no.32/34/1999, dan berbagai ketentuan perbankan lainnya.

Beda Ijarah, Sewa Menyewa, Pembiayaan Ijarah dan Leasing
Pembiayaan Ijarah tidak sama dengan Ijarah.  Ijarah mempunyai definisi yang sama dengan dengan definisi sewa menyewa.  Sedangkan pembiayaan ijarah mempunyai definisi yang sangat mirip dengan definisi kredit, kecuali dalam hal penggunaan prinsip syariah pada pembiayaan ijarah.  Ijarah adalah akad sewa menyewa, sedangkan pembiayaan ijarah adalah perjanjian untuk membiayai kegiatan sewa menyewa.

Pada leasing, lessor berkedudukan sebagai penyandang dana, baik tunggal atau bersama-sama dengan penyandang dana lainnya.  Sementara objek leasing disediakan oleh pihak ketiga atau oleh lessee sendiri.  Sebaliknya pada sewa menyewa biasa, barang objek sewa adalah memang miliknya lessor. Jadi kedudukan lessor adalah sebagai pihak yang menyediakan barang objek sewa.

Pada ijarah, bank hanya wajib menyediakan aset yang disewakan, baik aset itu miliknya atau bukan miliknya.  Yang penting adalah bank mempunyai hak pemanfaatan atas aset yang kemudian disewakannya.  Fatwa DSN tentang ijarah ini kemudian diadopsi kedalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 59 yang menjelaskan bahwa bank dapat bertindak sebagai pemilik objek sewa, dan bank dapat pula bertindak sebagai penyewa yang kemudian menyewakan kembali (para 129). Namun tidak seluruh fatwa DSN diadopsi oleh PSAK 59, misalnya fatwa DSN mengatur bahwa objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa; sedangkan PSAK 59 hanya mengakomodir objek ijarah yang berupa manfaat dari barang.

Pada pembiayaan ijarah, bank berkedudukan sebagai penyedia uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu dalam rangka penyewaan barang berdasarkan prinsip ijarah. Mengikuti penjelasan ijarah dalam PSAK 59, maka pembiayaan ijarah dapat digunakan untuk membiayai penyewaan barang yang kemudian disewakannya kembali kepada nasabah, dan dapat pula digunakan untuk membiayai pembelian barang yang kemudian disewakannya kepada nasabah.

Pada leasing biasanya masih dibutuhkan jaminan tertentu, sedangkan pada sewa menyewa dan pada ijarah tidak ada jaminan tersebut.  Kalaupun diminta jaminan pada sewa dan pada ijarah biasanya berupa security deposit (titipan jaminan pembayaran sewa).  Sedangkan pada leasing diminta jaminan berupa personal guarantee, fidusia terhadap barang modal yang bersangkutan, kuasa menjual barang modal, dan lain lain.  Pada pembiayaan ijarah, karena bentuknya adalah penyediaan uang atau tagihan, sama dengan bentuk kredit, jaminan yang diminta sama dengan jaminan pada kredit.  Bentuknya dapat berupa APHT, fidusia, cessie, guarantee, dan lain lain.

Beda IMBT, sewa beli, pembiayaan  IMBT dan Leasing
IMBT merupakan kependekan dari Ijarah Mumtahiya bit Tamlik.  Pembiayaan IMBT tidak sama dengan IMBT, begitupun IMBT tidak sama dengan sewa beli, dan tidak sama pula dengan leasing.  Dalam sewa beli, lessee otomatis jadi pemilik barang di akhir masa sewa.  Dalam IMBT, janji pemindahan kepemilikan di awal akad ijarah adalah wa’ad (janji) yang hukumnya tidak mengikat.  Bila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai.  Sedangkan pada leasing, kepemilikan lessee tersebut hanya terjadi bila hak opsinya dilaksanakan oleh lessee.  Pada pembiayaan IMBT, bank sebagai penyedia uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT paling tidak mempunyai dua pilihan.  Pertama, besarnya angsuran bulanan IMBT yang harus dibayarkan nasabah kepada bank telah memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga pada akhir masa ijarah nilai perolehan barang IMBT yang masih tersisa telah nihil.  Dalam hal ini, meskipun secara teori fikih dikatakan hukumnya tidak mengikat untuk memindahkan kepemilikan barang tersebut, namun secara praktik bisnisnya barang tersebut akan diserahkan kepemilikannya kepada nasabah.  Jadi dalam hal ini pembiayaan IMBT lebih mirip dengan sewa beli dibandingkan dengan leasing.

Kedua, besarnya angsuran bulanan IMBT yang harus dibayarkan nasabah kepada tidak memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga pada akhir masa ijarah nilai perolehan barang IMBT yang masih tersisa tidak nihil (biasanya disebut nilai residu). Dalam hal ini, bila nasabah membayar nilai residu tersebut maka bank akan memindahkan kepemilikannya pada nasabah.  Namun bila nasabah belum membayar nilai residunya, bank belum memindahkan kepemilikan tersebut. Jadi dalam hal ini pembiayaan IMBT lebih mirip dengan leasing dibandingkan dengan sewa beli.

Pihak lessor dalam leasing hanya bermaksud untuk membiayai perolehan barang modal oleh lessee, dan barang tersebut tidak berasal dari pihak lessor, tapi dari pihak ketiga atau dari pihak lessee sendiri.  Pada sewa beli, lessor bermaksud melakukan semacam investasi dengan barang yang disewakannya itu dengan uang sewa sebagai keuntungannya.  Karena itu, biasanya barang tersebut berasal dari milik pemberi sewa sendiri.  Pada IMBT keduanya dapat terjadi, menyediakaan barang sewa dengan cara menyewa, kemudian menyewakannya kembali.  Juga dimungkinkan menyediakan barang sewa dengan membeli kemudian menyewakannya.(br)

Pada pembiayaan IMBT, bank sebagai penyedia uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT dapat saja membiayai penyewaan barang kemudian barang tersebut disewakan kembali, dan dapat pula membiayai pembelian barang kemudian barang tersebut disewakan.  Yang jelas pembiayaan IMBT adalah penyediaan uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT, bukan akad IMBT itu sendiri.

Terakhir, leasing boleh dilakukan oleh perusahaan pembiayaan sedangkan sewa beli tidak termasuk kegiatan lembaga pembiayaan.  Pembiayaan IMBT boleh dilakukan oleh bank syariah, sedangkan sewa beli, leasing, IMBT tidak termasuk kegiatan bank syariah.

Pembiayan Ijarah Muntahiyyah Bit Tamlik (IMBT)



Pembiayaan dari BPRS yang diberikan kepada ummat untuk tujuan pemilikan barang-barang kebutuhan investasi ataupun konsumtif dengan syarat nasabah memiliki usaha/pekerjaan dengan sumber pengembalian yang pasti/tetap. Pembiayaan diberikan dengan dasar/prinsip sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang secara jual beli, dimana BPRS akan membelikan barang kebutuhan nasabah dan menyewakannya kepada nasabah dengan harga sewa sesuai kesepakatan kedua belah pihak dan pada jangka waktu tertentu barang yang disewa tersebut akan dijual kepada nasabah sesuai kesepakatan awal.

Persyaratan :


a. Mengisi formulir permohonan pembiayaan
b. Foto copy KTP suami & istri @ 2 lembar
c. Foto copy Kartu Keluarga 1 lembar
d. Foto copy Surat Nikah 1 lembar
e. Pas foto suami & istri @ 1 lembar
f. Foto copy legalitas usaha
g. Foto copy Rekening giro/tabungan 3 bulan terakhir
h. Foto copy neraca & laba/rugi 2 tahun terakhir
i. Slip gaji bulan terakhir (bagi karyawan)
j. SK Pengangkatan terakhir (bagi karyawan)
k. Foto copy jaminan