Thursday, March 1, 2012

Permodalan Sektor Riil, Pembiayaan Berbasis Emas Dengan Akad Qard


Saat ini tidak sedikit investor melirik investasi emas dengan beragam jenisnya untuk dijadikan lahan investasi. Emas dianggap merupakan investasi yang paling aman dan menguntungkan, aman dari risiko inflasi dan menguntungkan karena harga emas yang kian hari semakin meningkat. Jika semua investor berpandangan sama dan mengubah uangnya menjadi emas baik dalam bentuk emas perhiasan maupun logam mulia dan dinar, lalu bagaimana dengan jenis investasi lainnya seperti misalnya investasi dalam bentuk sektor riil, yang secara nyata memerlukan modal demi keberlangsungan usaha ini.
Semakin investor tertarik dengan emas, maka tingkat perdagangan emas juga akan semakin unjuk gigi. Salah satu cirri-cirinya adalah dengan semakin meningkatnya angka spekulasi perdagangan emas. Hal ini yang menjadi salah satu bentuk kekhawatiran para pelaku dan pengamat ekonomi syariah bahwa transaksi syariah sudah tidak lagi sebagai investasi tetapi rentan dengan spekulasi sebagaimana yang menjadi salah satu penyebab dari distorsi pasar.
Sebagai contoh, investor ramai-ramai ke bank syariah untuk membeli emas secara kredit dengan sistem gadai emas.  Investor yang memiliki banyak uang dapat membeli emas secara cash kepada bank, sebaliknya investor yang tidak memiliki uang dan ingin berinvestasi emas juga dapat membeli emas, yakni dengan sistem gadai. Kasus investasi emas dengan gadai inilah yang mengkhawatirkan dan banyak menjadi bahan diskusi para pengamat dan pakar ekonomi syariah. Bagaimana tidak, transaksi gadai emas bahkan telah sampai pada praktik perdagangan yang tidak riil dimana barang belum diterima tapi sudah digadaikan lagi.  
Oleh sebab itu untuk mengantisipasi maraknya spekulasi investasi emas ini, sistem gadai emas harus di atur dan diarahkan untuk membiayai sektor riil. Saat ini Bank Indonesia sudah berencana untuk mengeluarkan aturan terkait gadai emas di bank syariah yang meliputi sejumlah instrument yang terkait dalam transaksi gadai emas, seperti nilai gadai (finance to value/FTV) hingga jumlah plafon pembiayaan per nasabah. Untuk itu, perbankan syariah harus mendukung untuk memastikan pembiayaan gadai emas diarahkan ke sektor riil, hingga bank syariah perlu menganalisis nasabah dengan memastikan bahwa transaksi yang dilakukan adalah benar untuk membiayai usaha dan bukan untuk spekulasi.
Lalu bagaimana agar investasi emas diarahkan untuk membiayai sektor riil? Tidak hanya melalui strategi pembentukan undang-undang, akan tetapi juga harus ada solusi agar investasi emas benar-benar ditujukan untuk membiayai sektor riil, yang salah satunya adalah dengan membuat skema pembiayaan berbasis emas misalnya dengan akad qard.
Akad qard adalah akad pinjaman dimana bank selaku pemberi pinjaman dan nasabah debitur selaku peminjam. Dalam dunia perbankan konsep dasar pinjaman biasanya menggunakan mata uang rupiah sebagai mata uang basis pinjaman. Mata uang kertas ini sangat rentan sekali dengan inflasi, sehingga Rp 100.000,- tahun 2011 akan berbeda nilai riilnya dengan tahun 2020 dimasa mendatang. Oleh sebab itulah dalam konteks pinjaman dikenal dengan istilah opportunity cost (beban biaya atas adanya kesempatan yang hilang). Untuk mengganti beban biaya tersebut perbankan konvesional membebankan bunga atas segala bentuk pinjaman yang diberikan, sedangkan dalam prinsip perbankan syariah dikenal dengan prinsip bagi hasil.
Lalu, bagaimana konsep pembiayaan sektor riil berbasis emas dengan menggunakan akad qard. Tidak jauh berbeda dengan konsep pinjaman pada umumnya, hanya standar yang digunakan dalam pinjaman ini adalah menggunakan standar emas/dinar/dirham.
Contoh kasus:
Misalnya, perbankan syariah menyalurkan pembiayaan produktif dengan plafond sejumlah 1 gram emas/dinar/dirham. Pengembalian yang diharapkan oleh perbankan untuk 5 tahun mendatang dari qard ini akan tetap sejumlah 1 gram/dinar/dirham. Jika dikonversi ke rupiah maka nilai emas akan semakin meningkat sehingga pihak penyalur kredit (perbankan) tidak perlu lagi mengedepankan alasan “opportunity cost” dengan tidak lagi membebankan bunga terhadap debitur.
Logikanya, Jika asset yang digulirkan sejumlah 10 kg emas, maka 10 tahun mendatang akan tetap senilai 10 kg emas. Bandingkan jika pembiayaan yang disalurkan dengan rupiah, misal senilai 10 Milyar, 10 tahun mendatang memang nilai nominalnya akan tetap 10 Milyar, akan tetapi nilai riilnya pasti akan turun sebagai imbas tergerus oleh inflasi.

Pembiayaan emas ini tidak hanya cocok disalurkan ke sektor riil saja, akan tetapi juga lebih pas untuk pembiayaan jangka panjang, seperti untuk pembiayaan infrastruktur, dimana mengingat proyek infrastruktur akan turut berkontribusi terhadap pembangunan suatu negara terutama negara-negara berkembang.
Dan lebih tepat lagi jika sumber dana pembiayaan emas ini berasal dari wakaf produktif, sehingga asset dapat terus bergulir tanpa mengurangi nilai asset itu sendiri. Mengingat dana wakaf tidak boleh berkurang. Dana wakaf akan harus tetap nilainya sampai kapanpun, karena pada hakikatnya nilai emas akan tetap baik nilai nominal maupun intrinsiknya.

No comments:

Post a Comment