Friday, July 15, 2011

Membumikan Ekonomi Kerakyatan

Sejauh ini pemerintah mengalami permasalahan yang rumit dalam menentukan kebijakan-kebijakan optimal dalam hal subsidi BBM. Sebagai akibat dari tidak stabilnya politik Timur Tengah menyebabkan kekhawatiran pemerintah Indonesia meningkat seiring dengan isu naiknya harga minya dunia yang hingga bulan ini mencapat 100 dolar AS perbarel. Dengan naiknya minyak dunia tentunya akan berimbas pada perekonomian dalam negeri, terutama bagi dunia usaha yang menyebabkan pada harga pokok produksi (HPP) menjadi meningkat. Jika HPP meningkat tak ayal lagi harga barang menjadi naik. Guna mengantisipasi hal ini pemerintah pun menelurkan kebijakan bersubsidi yang hanya diperuntukkan bagi dunia usaha dan orang-orang miskin.
Yang menjadi topik utama dari permasalahan penentuan kebijakan BBM bersubsidi ini adalah pemerintah menggandeng MUI untuk menelurkan fatwa haramnya BBM bersubsidi bagi mereka yang mampu. Memang benar jika dilihat pada data statistik bahwa anggaran pemerintah untuk subsidi BBM semakin membengkak agar pemerintah lebih terlihat populer dengan penetapan kebijakan pro rakyat. Hanya saja pertanyaannya adalah kenapa pemerintah lebih memilih untuk menggandeng MUI dengan harapan direntasnya fatwa terkait dengan BBM bersubsidi haram untuk orang kaya, bukan menggandeng mereka para praktisi, akademisi, bahkan para ahli yang mungkin dapat memberikan masukan untuk kebijakan BBM bersubsidi kedepan? Apakah mereka sudah dianggap tidak mampu lagi oleh pemerintah untuk memberikan sumbangsih pemikiran yang layak guna turut andil dalam menelurkan kebijakan-kebijakan yang ampuh dalam permasalahan ini? Hanya pemerintah dan Tuhan yang tahu.
Sebenarnya yang menjadi solusi untuk problematika ini adalah dengan menaikkan daya beli masyarakat. Jika daya beli masyarakat meningkat maka kenaikan harga minyak dunia menjadi tidak masalah. Lalu, bagaimana caranya meningkatkan daya beli masyarakat? Tentunya dengan meningkatkan perekonomian rakyat, usaha-usaha rakyat, serta peranan UMKM dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Mengacu pada Undang-Undang tahun 1945 bahwa tujuan utama dari negara ini adalah untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia, bukan mensejahterakan para kapitalis, liberalis bahkan para koruptor saja. Akan tetapi seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) bahwa pada bulan Maret 2011, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 30,02 juta jiwa. Seharusnya angka ini harus menjadi PR pemerintah bagaimana meningkatkan daya beli masyarakat miskin melalui peran dunia usaha.
Berjalannya dunia usaha dengan baik tidak terlepas dari peran perbankan sebagai fungsi intermediasi antara pemodal dengan pengusaha. Jika paham akan fungsinya, sudah seharusnya perbankan mendukung  berjalannya dunia usaha dengan baik dengan tidak memberikan hambatan-hambatan bagi mereka yang membutuhkan pembiayaan. Sayangnya, bagi perbankan konvensional mereka lebih merasa aman dan nyaman ketika harus menginvestasikan dananya di SBI (Surat Berharga Indonesia) daripada harus berinvestasi di dunia usaha yang belum jelas pendapatannya. Tak heran lagi jika pemerintah harus menyisakan sekian persen dari anggarannya untuk membayar bunga SBI. Jika sudah begini, tentunya dana APBN pun teralokasikan semakin membengkak. Inilah sebagian kecil dampak dari penerapan ekonomi kapitalis yang tidak pro rakyat.  Seharusnya nasabah pemodal perbankan lebih diprioritaskan untuk menyimpan uang dalam bentuk giro dan bukan deposito, agar dana yang ada tidak ‘idle’ tanpa sentuhan investasi di dunia usaha.
Penempatan dana pada deposito juga menjadi boomerang sendiri bagi dunia perbankan. Bagaimana tidak, perbankan setiap bulannya harus menyisakan beberapa persen dari  keuntungan untuk membayar bunga deposito. Jika dunia usaha menjadi mandeg karena terkendala akan modal dan banyak terjadi bad debt collection, maka perbankan harus berpikir lebih keras, bagaimana ia akan membayar bunga deposito kepada nasabah. Jika negative spread terjadi, artinya bunga kredit lebih kecil dari bunga debit maka perbankan butuh suntikan dana dari otorotas terkait guna menjamin keberlangsungan usaha lembaga keuangan ini. Inilah yang disebut dengan trickledown effect of interest.
Oleh sebab itu, sangat penting sekali bagi pemerintah untuk mendukung keberlangsungan lembaga-lembaga keuangan mikro syariah seperti BMT yang atau koperasi-koperasi yang pro usaha rakyat. Yang tidak hanya profit oriented saja akan tetapi juga social oriented.  Dan demi meningkatkan Ekonomi kesejahteraan rakyat maka harus ada TOP priority dari pemerintah dalam membantu berbagai sektor usaha, (1) Koperasi, UMKM (2) BUMN (3) Perusahaan swasta, dan bukan sebaliknya dari (1) Perusahaan swasta (2) BUMN (3) Koperasi, UMKM.
Dari uraian diatas, jelas sudah bahwa ekonomi kapitalis dan liberalis sesungguhnya lebih merugikan rakyat banyak . Sudah seharusnya kita kembali pada Pancasila dimana sangat mengedepankan ekonomi kerakyatan. Jika masyarakat mampu meningkatkan kemampuan ekonominya, maka daya beli masyarakat juga akan meningkat, dan masyarakat pun mampu melawan laju inflasi yang semakin tinggi sebagai akibat dari penggunaan uang kertas yang tidak ditopang dengan emas.
Wallahua’lam bis shawab

No comments:

Post a Comment