Wednesday, May 2, 2012

Market Speculator Detection


Dalam dunia pasar modal terbagi menjadi dua jenis pasar, yakni pasar primer dan pasar sekunder. Pasar primer dan pasar sekunder dalam sektor riil dapat dianalogikan seperti pasar mobil atau rumah. Penjualan mobil/rumah baru disebut pasar primer, sedangkan jual beli mobil/rumah second/bekas itu pasar sekundernya.  Pada umumnya volume penjualan mobil/rumah di pasar primer jauh lebih besar daripada volumenya di pasar sekunder. Lain halnya dengan pasar modal, pasar primer (IPO [Initial Public Offering) pada umumnya jauh lebih kecil daripada pasar sekunder. Hal ini dikarenakan di pasar sekunder pada pasar modal lebih banyak speculator (investor yang hanya mencari capital gain) daripada investor yang riil mencari dividen serta berniat murni ingin memiliki sebagian saham dari perusahaan. Perbedaan ini sangat jelas sekali terlihat jika dibandingkan antara sektor riil dan sektor keuangan/modal.
Jika dalam sektor riil jual-beli pada pasar sekunder lebih banyak volumenya dikarenakan kebanyakan mereka yang melakukan jual beli dipasar sekunder disamping untuk memiliki, tapi juga konsumen merasa kurang puas maupun kondisinya sudah tidak sesuai dengan apa yang dimilikinya saat ini (seperti membeli rumah karena ingin merasakan suasana baru dsb). Lain halnya dengan transaksi yang ada di pasar sekunder untuk pasar modal, mayoritas para investor melakukan jual beli saham dikarenakan ingin mendapatkan keuntungan dalam jangka waktu yang singkat, sehingga tidak jarang para investor melakukan “goreng-menggoreng saham”. Hal ini senada dengan pengamat pasar modal yang mengatakan bahwa 95% pelaku pasar modal adalah speculator, oleh sebab itulah volume pasar sekunder jauh lebih besar daripada volume pasar primernya.
Jika dalam pasar modal syariah pelaku investornya masih lebih cenderung ‘buy low sell high’ maka tidak berbeda dengan pasar modal konvensional yang cenderung mencari keuntungan dalam waktu yang singkat.
Penelitian lain juga menyebutkan bahwa dalam jual beli saham, nilai investasi yang masuk ke sektor riil tidak mencapai sepersepuluhnya dari kapitalisasi pasar. Ditambah lagi fakta menyebutkan bahwa uang yang beredar di pasar sekunder jauh lebih besar daripada nilai IPO. Sehingga sekuritas yang diperjualbelikan di pasar sekunder tidak lagi ada hubungannya dengan sektor riil seperti penciptaan lapangan kerja baru, investasi pada alat-alat produksi dsb.
Efek lain dari perdagangan saham di pasar sekunder adalah tersedotnya sumber daya keuangan ke sektor non riil. Perputaran uang yang terjadi diantara pemilik modal ke pemilik modal lain dengan gain and loss diantara mereka sehingga bukan lagi antara pemilik moda dengan pengusaha. Dari cepatnya ‘waktu menghasilkan’ inilah tumbuh mentalitas spekulasi dan adanya keengganan untuk berinvestasi langsung ke sektor riil.
Fakta yang terjadi dilapangan adalah ketika suatu perusahaan menerbitkan saham, maka uang yang didapat waktu penjualan perdana masuk ke perusahaan tersebut. Pada saat itulah uang yang masuk langsung digulirkan ke sektor riil. Selanjutnya, ketika saham perusahaan diperjualbelikan antara pemilik saham yang pertama pada saat penjualan perdana ke pembeli saham berikutnya, dan diperjualbelikan lagi antara pembeli berikutnya ke pembeli berikutnya dan seterusnya dan seterusnya. Dengan itu uang tidak lagi masuk ke sektor riil.
Godo C, penulis buku “Menjadi Kaya lewat Reksadana” memberikan saran agar terhindar dari beberapa praktik spekulatif di pasar modal diantaranya adalah saham hanya ditransaksikan sekali pada saat IPO. Jika terdapat kebutuhan likuiditas untuk jangka panjang dapat diatasi dengan transaksi melalui mekanisme gadai atau buy back pada harga perdana, sehingga tidak ada celah untuk spekulasi. Keuntungan yang akan diperoleh pemilik saham hanya tergantung pada dividen, sehingga akan jauh lebih teliti untuk fokus dan berjuang untuk kesehatan dan performance perusahaan dimana seorang investor ikut memilikinya.
Lalu bila memang saham diperjualbelikan hanya sekali pada saat IPO, bagaimana dengan para investor yang ingin memiliki saham sedangkan perusahaan tidak lagi menerbitkan saham perdana. Dari masalah ini yang seharusnya didorong adalah semakin banyak perusahaan yang go public atau berbentuk koperasi sehingga semua orang mendapat kesempatan untuk menjadi bagian kepemilikan perusahaan. Penambahan modal untuk existing companies juga dapat menggunakan sukuk dan hold to maturity, sehingga benar-benar tidak ada celah untuk melakukan spekulasi disamping adanya jaminan bahwa dana investor benar-benar digunakan untuk kepentingan sektor riil.

Wallahua’lam bis shawab

No comments:

Post a Comment